Pages - Menu

Jumat, 18 April 2014

Kompensasi,Pengertian Kompensasi




BAB II
       TINJAUAN PUSTAKA

2.1              Kompensasi
2.1.1        Pengertian Kompensasi
Dalam suatu perusahaan partisipasi pegawai atau sumber daya manusia akan dinilai dengan suatu imbalan atau balas jasa. Imbalan atau balas jasa atau biasa disebut dengan kompensasi penting bagi pegawai sebagai individu karena besarnya kompensasi mencerminkan ukuran nilai kerja mereka diantara pegawai itu sendiri.
Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja (2005:244) menyatakan bahwa:
“Kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang diterima oleh pegawai sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi dalam bentuk uang atau lainnya, yang dapat berupa gaji, bonus, insentif, dan tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan, uang cuti, dan lain-lain”.

Menurut T. Hani Handoko (2000:155) menyatakan bahwa:  “Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka”.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2005:83) menyatakan bahwa:  “Kompensasi merupakan sesuatu yang dipertimbangkan sebagai suatu yang sebanding”.
Adapun pengertian kompensasi menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2003 : 181) adalah:
“Kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para tenaga kerja karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
            Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kompensasi merupakan interaksi antara pegawai dengan organisasi, yang berupa timbal balik dari jasa atau tenaga yang dikeluarkan oleh pegawai dan penghargaan dari organisasi dalam bentuk upah atau fasilitas lainnya.
2.1.2        Tujuan Kompensasi
Tujuan pemberian kompensasi menurut Suwatno (2001:111), pada dasarnya meliputi:
  1. Menghargai prestasi kerja
Dengan pemberian kompensasi yang memadai adalah suatu penghargaan organisasi terhadap prestasi kerja para pegawainya.
  1. Menjamin keadilan
Dengan adanya pemberian kompensasi yang baik akan menjamin terjadinya keadilan diantara pegawai dalam organisasi. Masing-masing pegawai akan memperoleh imbalan yang sesuai dengan tugas, fungsi jabatan, dan prestasi kerjanya.
  1. Mempertahankan pegawai
Dengan pemberian kompensasi yang baik, para pegawai akan merasa betah atau bertahan bekerja pada organisasi tersebut.
  1. Memperoleh pegawai yang bermutu
Dengan pemberian kompensasi yang baik akan menarik lebih banyak calon pegawai. Dengan banyaknya pelamar atau calon pegawai akan       memperoleh lebih banyak peluang untuk memperoleh pegawai yang bermutu.
5.      Pengendalian biaya
Dengan pemberian kompensasi yang baik, akan mengurangi seringnya melakukan rekrutmen. Sebagai akibat dari makin banyaknyapelamar yang keluar keluar kerja, hal ini berarti penghematan biaya.
  1. Memenuhi peraturan-peraturan
Sistem administrasi yang baik akan merupakan tuntunan dari pemerintah (hukum). Suatu organisasi yang baik dituntut adanya sistem administrasi yang baik pula.

2.1.3    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kompensasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi menurut Suwatno (2001:112) , antara lain sebagai berikut:
  1. Produktivitas
Organisasi apapun berkeinginan untuk memperoleh keuntungan, baik material maupun non material. Maka organisasi harus mempertimbangkan produktivitas pegawainya dalam kontribusinya terhadap keuntungan organisasi tersebut.
2.      Kemampuan untuk membayar
Pemberian kompensasi akan tergantung kepada kemampuan organisasi itu untuk membayar.
  1. Kesediaan untuk membayar
Kesediaan untuk membayar akan berpengaruh terhadap kebijaksanaan pemberian kompensasi kepada pegawainya.
4.      Suplai dan permintaan tenaga kerja
Banyak sedikitnya tenaga kerja dipasaran kerja akan mempengaruhi sistem pemberian kompensasi.
  1. Organisasi karyawan
Dengan adanya organisasi-organisasi pegawai akan mempengaruhi kebijakan pemberian kompensasi. Organisasi pegawai ini biasanya akan memperjuangkan para anggotanya untuk memperoleh kompensasi yang sepadan.
  1. Berbagai peraturan dan perundang-undangan
Dengan semakin baik sistem pemerintahan, maka makin baik pula sistem perundang-undangan. Berbagai peraturan dan undang-undang ini jelas akan mempengaruhi sistem pemberian kompensasi pegawai oleh setiap organisasi, baik pemerintah maupun swasta.
            Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi menurut Leon C. Megginson (1981:401) yang diterjemahkan oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2005:84), adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Pemerintah
Peraturan pemerintah yang berhubungan dengan penentuan standar gaji minimal, pajak penghasilan, penetapan harga bahan baku, biaya transportasi, inflasi maupun devaluasi sangat mempengaruhi perusahaan dalam menentukan pemberian kompensasi pegawai.


2.      Penawaran Bersama antara Perusahaan dan Pegawai
Dalam menentukan kompensasi dapat dipengaruhi pula pada saat terjadinya tawar menawar mengenai besarnya upah yang harus diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya.
3.      Standard an Biaya Hidup Pegawai
Dalam pemberian kompensasi perlu mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal pegawai. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar dan rasa aman pegawai akan memunkinkan pegawai dapat bekerja dengan penuh motivasi untuk mencapai tujuan perusahaan.
4.      Ukuran Perbandingan Upah
Dalam menentukan kompensasi dipengaruhi pula oleh ukuran besar kecilnya perusahaan, tingkat pendidikan pegawai, masa kerja pegawai. Artinya, perbandingan tingkat upah pegawai perlu memperhatikan tingkat pendidikan, masa kerja, dan ukuran perusahaan.
5.      Permintaan dan Persediaan
Dalam menentukan kompensasi pegawai perlu mempertimbangkan tingkat persediaan dan permintaan pasar. Artinya, kondisi pasar saat itu perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat upah pegawai.
6.      Kemampuan Membayar
Dalam menentukan kompensasi pegawai perlu didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam membayar upah pegawai. Artinya, jangan sampai menentukan kebijakan kompensasi diluar batas kemampuan yang ada pada perusahaan.
2.1.3        Komponen-komponen Kompensasi
Suatu organisasi yang telah membuat keputusan tentang pemberian kompensasi bagi pegawainya, maka selanjutnya disusunlah program pemberian kompensasi. Dalam program pemberian kompensasi ini mencakup sekurang-kurangnya 8 komponen, antara lain sebagai berikut:
1.      Organisasi administrasi pemberian kompensasi
Pengorganisasian dan administrasi pemberian kompensasi ini sangat diperlukan sekali. Sebab pemberian kompensasi bukanlah sekedar membagikan upah atau gaji kepada pegawai saja, melainkan harus memperhitungkan kemampuan organisasi serta produktivitas pegawai dan aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan itu.
2.      Metode pemberian kompensasi
Dalam pemberian kompensasi digunakan beberapa metode diantaranya:
a.       Metode Tunggal
Metode tunggal yaitu metode yang dalam penetapan agji pokok hanya didasarkan atas ijazah terakhir dari pendidikan formal yang dimiliki pegawai.
b.      Metode jamak
Metode jamak yaitu suatu metode yang dalam gaji pokok berdasarkan atas beberapa pertimbangan seperti ijazah, sifat pekerjaan, pendidikan, informal.
3.      Struktur pemberian kompensasi
Struktur pemberian kompensasi yang baik adalah menganut faham keadilan. Setiap pegawai akan memperoleh kompensasi sesuai denagn tanggung jawab pekerjaannya.
4.      Program pemberian kompensasi sebagai perangsang kerja
Suatu program pemberian kompensasi bukan semata-mata didasarkan sebagai imbalan atas pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran pegawai terhadap organisasi, melainkan juga merupakan cara untuk merangsang dan meningkatkan kegairahan kerja.
5.      Tambahan sumber pendapatan bagi karyawan
Dengan program kompensasi yang baik bukan saja memperoleh upah atau gaji yang rutin, melainkan juga memperoleh tambahan sumber pendapatan selain upah atau gaji tersebut.
6.      Terjaminnya sumber pendapatan dan peningkatan jumlah imbalan jasa
Setiap pegawai suatu organisasi mengharapakan bahwa kompensasi yang diterima tidak akan menurun, dan bahkan setiap waktu akan naik. Oleh sebab itu pemberian kompensasi harus menjamin bahwa organisasinya adalah merupakan sumber pendapatan bagi pegawainya, dan selalu memikirkan adanya peningkatan jumlah kompensasi.
7.      Kompensasi bagi kelompok manajerial
Pimpinan atau atasan pada setiap organisasi adalah merupakan kelompok yang bertanggung jawab mati hidupnya organisasi. Oleh sebab itu wajar apabila kompensasi yang mereka terima lebih besar daripada pegawai biasa.
8.      Prospek dimasa depan
Untuk memperhitungkan prospek yang akan datang ini perlu memperhitungkan tiga dimensi waktu yaitu: keadaan organisasi pada waktu yang lalu, kondisi organisasi saat ini, dan prospek masa yang akan datang.

2.1.4        Kriteria Kompensasi
Kebijakan tentang pemberian kompensasi suatu organisasi terhadap pegawai bukan sesuatu yang statis, melainkan bersifat dinamis. Hal ini berarti bahwa ketentuan pemberian kompensasi suatu organisasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketentuan pemberian kompensasi ini antara lain: keadaan perekonomian suatu negara, kebijaksanaan pemerintah, tuntutan organisasi pegawai, perkembangan ilmu dan tekhnologi. Namun demikian agar perubahan ketentuan tersebut tidak begitu menimbulkan kegoncangan, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan pemberian kompensasi, antara lain:
1.      Biaya hidup
Dengan mempergunakan kriteria biaya hidup ini dimaksudkan agar pegawai dapat tetap mempunyai produktivitas yang optimum, maka mereka harus memperoleh kompensasi sebesar biaya hidup saat ini.
2.      Produktivitas kerja pegawai
Jika produktivitas kerja pegawai baik maka kompensasi akan semakin besar. Sebaliknya jika produktivitas kerjanya buruk serta sedikit maka kompensasinya kecil.
3.      Skala upah atau gaji yang umum berlaku
Secara umum skala pemberian kompensasi daapt mengacu kepada organisasi yang sederajat dan sejenis yang sudah mempunyai skala pemberian kompensasi atau minimal lebih tinggi dari upah minimum yang telah ditetapkan.
4.      Kemampuan membayar
Semua organisasi selalu memperhitungkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar kmopensasi pegawainya, dikaitkan dengan biaya keseluruhan organisasi.
5.      Upah atau gaji sebagai alat untuk menarik, mempertahankan, dan memberikan motivasi kepada pegawai.
Organisasi yang baik akan selalu menarik calon pegawainya untuk bekerja didalamnya, serta mempertahankan pegawainya untuk tetap betah bekerja didalamnya. Disamping itu organisasi yang baik akan memberikan motivasi kerja bagi pegawainya.
6.      Penawaran dan permintaan tenaga kerja
Jika pencari kerja (penawaran) lebih banyak daripada lowongan pekerjaan (permintaan) maka kompensasi relative lebih kecil, begitupun sebaliknya.
7.      Serikat buruh atau organisasi pegawai
Apabila serikat buruhnya kuat dan berpengaruh maka tingkat kompensasi semakin besar. Sebaliknya jika serikat buruhnya tidak kuat dan kurang berpengaruh maka tingkat kompensasi relative kecil.

8.      Posisi jabatan pegawai
Pegawai yang menjabat jabatan yang lebih tinggi maka akan menerima kompensasi yang lebih besar. Sebaliknya pegawai yang jabatannya lebih rendah akan memperoleh kompensasi yang kecil.
9.      Pendidikan dan pengalaman kerja
Jika pendidikan lebih tinggi dan pengalaman kerja yang lebih lama maka kompensasi akan semakin besar, karena kecakapan serta keterampilan lebih baik.

2.2       Kepuasan Kerja
2.2.1    Pengertian Kepuasan Kerja
Pengertian kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti besar manfaatnya baik bagi kepentingan individu, industri dan masyarakat. Bagi individu penelitian tentang sebab-sebab dan sumber-sumber kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagian hidup mereka. Bagi bidang industri penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan industri dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku pegawai. Sedangkan bagi masyarakat tentunya akan menikmati hasil kapasitas maksimal dari individu serta naiknya nilai manusia didalam konteks pekerjaan.
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan suatu hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu. Dengan semakin banyaknya aspek-aspek dalam  pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang dirasakannya dan sebaliknya.
Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja (2005:290) mengemukakan bahwa:  “Kepuasan kerja merupakan salah satu elemen yang cukup penting dalam organisasi”
Menurut Mathis dan Jackson (2001:98) mengemukakan bahwa: “kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang”.
Menurut Luthan (2002:230) mengemukakan bahwa: ”kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang menyenangkan atau positif yang merupakan hasil dari prestasi kerja atau pengalaman”.
Menurut Sondang P. Siagian (2006:295) mengemukakan bahwa:  “kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif tentang pekerjaannya”.
Melihat dari batasan-batasan mengenai kepuasan kerja diatas sebenarnya merupakan batasan yang sederhana dan bersifat operasionil menurut hemat penulis kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi kepuasan kerja semacam ini melihat kepuasan itu sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya. Jadi determinasi kepuasan kerja menurut batasan ini meliputi perbedaan individu-individu maupun situasi lingkungan pekerjaan. Disamping itu perasaan orang terhadap pekerjaannya tentulah sekaligus merupakan refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dari pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan pegawai lainnya, jenis pekerjaan, penempatan kerja, mutu pengawasan, struktur organisasi perusahaan. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain: umur, kondisi kesehatan, kemampuan, pendidikan, dan keadaan emosi positif karyawan terhadap pekerjaanya.

Teori Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan suatu hal yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistim nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian pada kegiatan didasarkan sesuai dengan keinginan individu , maka makin tinggi kepuasannya terhadap kepuasan tersebut. Dengan demikian kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikap senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.
Menurut Veithzal Rivai (2004:475) Teori Kepuasan Kerja antara lain:
1.      Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)
Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi yang diterimanya maka orang akan lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.
2.      Teori Keadilan (Equety Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidak adanya keadilan (equity) dalam suatu sistim, khususnya sistim kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi pegawai yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan , pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah atau gaji, keuntungan sampingan, symbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil, atau aktualisasi diri.  


3.      Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan itu bukan satu variable yang continue. Teori ini menunjukkan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfieas atau motivator dan dissatisfieas. Satisfieas adalah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber yang dibutuhkan kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan untuk memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfieas (Hegein Factor) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: Gaji atau upah pengawasan, hubungan antara pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.

Alasan Pentingnya Kepuasan kerja
Menurut Indra Wijaya (2002:72) kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya karena menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya karena menyangkut sikap, pengertian kepuasan kerja, mencakup berbagai hal, seperti kogmis,  emosi dan kecenderungan perilaku seseorang. 
Kepuasan kerja itu tidak nyata atau tidak nampak tetapi dapat terwujud dalam suatu hasil pekerjaan. Oleh sebab itu kepuasan kerja, walaupun sulit dan abstrak, tetap perlu dapat perhatian.
Lebih lanjut  Indra Wijaya (2002:72) mengemukakan alasan pentingnya perusahaan memperhatikan kepuasan kerja. Beberapa diantara alasan tersebut adalah:
1.      Alasan Nilai
Para pegawai menggunakan sebagian waktu bangunnya dalam pekerjaan. Oleh sebab itu baik manajer maupun bawahannya menginginkan agar waktu tersebut dapat digunakan dengan penuh kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan.
2.      Alasan Kesehatan Jiwa
Pekerjaan dan organisasi merupakan faktor yang dapat menimbulkan tekanan psikologis. Juga sudah umum diketahui bahwa seseorang yang melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang tidak berharga atau sebagai sesuatu yang tidak penting, cenderung membawanya kelingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.
3.      Alasan Kesehatan Jasmani
Hasil penelitian yang dihasilkan oleh Palmore (1969) di Amerika Serikat membuktikan mereka menyenangi pekerjaannya cenderung berumur lebih panjang dibandingkan dengan yang menghadapi pekerjaan yang kurang merka senangi. Sudah tentu ketetapan hasil penelitian Palmore tersebut masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat faktor pekerja hanyalah salah satu faktoryang dapat menyebabkan tekanan psikologis. Selain mendapat kepuasan batin, orang yang menyenangi pekerjaannya juga cenderung mendapat lebih banyak uang dari pekerjaan tersebut dan dengan demikian lebih mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya dengan baik, misalnya: sandang, papan, pangan dan sebagainya.
Ketiga alasan tersebut dalam kehidupan organisasi modern, dijadikan sebagai tingkat kematangan suatu organisasidan karenanya sering dianggap kewajiban organisasi untuk selalu memperhatikannya.
Menurut Veithzal Rivai (2004:480) kepuasan kerja adalah bagaimana seseorang merasakan pekerjaan dan aspek-aspeknya. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penentu atau keberhasilan suatu pekerjaan. Oleh karena itu perusahaan harus benar-benar memperhatikan faktor kepuasan kerja ini. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan harus memperhatikan kepuasan kerja antara lain:
1.      Pertama, manusia berhak diperlakukan adil dan hormat pandangan ini menurut perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan refleksi perlakuan yang baik. Penting juga memperhatikan indicator emotional atau kesehatan psikologis. pegawai
2.      Kedua, perspektif kemanusiaan bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi perusahaan. Perbedaan kerja antara unit organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan. Buhler (1994) menekankan pendapatnya bahwa upaya organisasi berkelanjutan harus ditempatkan pada kepuasan kerja dan pengaruh ekonomi terhadap perusahaan. Perusahaan yang percaya pada pegawai dapat dengan mudah diganti dan tidak berinvestasi maka akan menghadapi bahaya. Biasanya berakibat tingginya tingkat turnover diiringi dengan membengkaknya biaya pelatihan, gaji, memunculkan perilaku yang sama dikalangan pegawai, yaitu mudah berganti-ganti perusahaan dan dengan demikian kurang royal.
Selain beberapa alasan yang telah dikemukakan diatas, ada juga beberapa alasan yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja antara lain:
1.      Pekerjaan sesuai dengan bakat dan keahlian
2.      Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup
3.      Pekerjaan yang menyediakan informasi yang lengkap
4.      Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil tidak terlalu banyak atau ketat melakukan pengawasan
5.      Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai
6.      Pekerjaan yang memberikan tantangan yang lebih mengembangkan diri
7.      Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan
8.      Pekerjaan harapan yang dikandung pegawai itu sendiri

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja    
Menurut A. A. Anwar Mangku Negara (2005:120) ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
1.      Faktor yang ada pada diri pegawai, yaitu: kecerdasan (IQ), kecakapan khusus,umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja.
2.      Faktor pekerjaan, yaitu: jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan financial, kesempatan promosi jabatan, interaksi social dan hubungan kerja.

2.4       Peranan Pemberian Kompensasi dalam Meningkatkan Kepuasan Kerja
            Tinggi rendahnya tingkat kompensasi yang diterima dan dirasakan oleh pegawai akan mempengaruhi komitmen terhadap organisasi dan komitmen akan terpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai yang bersangkutan.
            Pegawai yang merasa puas akan lebih mungkin terlibat dalam kolaborasi dan mau menerima tujuan organisasi yang dapat meningkatkan produktivitas, sedangkan pegawai yang tidak puas dapat gagal untuk bekerja secara kolaboratif namun mengesampingkan usaha tujuan organisasi. Menurut T. Hani. Handoko (2000:155) bahwa “suatu departemen dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan adalah melalui pemberian kompensasi”. Hal ini pula didukung oleh, hasil penelitian Diyah Dumasari Siregar ST, MM dengan judul Kepuasan Kerja vs Produktivitas, yang didalamnya menyatakan bahwa kompensasi berperan dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawai.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranan pemberian kompensasi dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawai adalah bahwa tinggi rendahnya tingkat kompensasi yang diterima dan dirasakan oleh pegawai berguna dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawai terhadap organisasi. Apabila kompensasi terpenuhi, maka kepuasan kerja pegawai atas organisasi tinggi.   

           
           


Teori Motivasi Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:
Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler.
Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan sebagai berikut:
IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN
1. Kebutuhan Fisiologis
Identifikasi Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.
Tak diragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini.
Aplikasi Manajemen
Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan. Orang yang cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya, orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasar terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.
Aplikasi Manajemen
Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.
Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi.
Belakangan ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor perkembangan teknologi. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
3. Kebutuhan Sosial
Identifikasi Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Aplikasi Manajemen
Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
Aplikasi Manajemen
Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.
Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya. Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian.
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.
Aplikasi Manajemen
Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being man is having to be man.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar