CADAR
Antara Yang Mewajibkan dan Yang
Tidak
PENGANTAR
pembahasan ini diambil dari rubrik tanya
jawab majalah As Sunnah dan kami
mendapatkan naskah ini dari kumpulan artikel Ustadz Kholid Syamhudi jazaahullahu khairan. Untuk memudahkan dalam pembacaan, pembahasan ini akan kami
bagi menjadi 5 bagian yaitu :
1.
dalil para ulama yang mewajibkan (2 bagian),
2.
dalil para ulama yang mengatakan tidak wajib (2bagian)
3.
dan kesimpulan (1 bagian). Kami sarankan pada pembaca untuk menyimak
dengan
seksama dalil-dalil yang dipaparkan dalam
artikel
ini. Selamat membaca…
Dalil-Dalil
Ulama yang Mewajibkan
Pertanyaan:
Apakah
hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita,wajib atau tidak?
Jawaban:
Banyak
pertanyaan yang ditujukan kepada kami, baik secara langsung maupun lewat surat,
tentang masalah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita. Karena banyak kaum
muslimin belum memahami masalah ini, dan banyak wanita muslimah yang
mendapatkan problem karenanya, maka kami akan menjawab masalah ini dengan
sedikit panjang. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan wajib, yang lain menyatakan tidak wajib, namun merupakan keutamaan.
Maka di sini –insya Allah- akan kami sampaikan hujjah masing-masing pendapat
itu, sehingga masing-masing pihak dapat mengetahui hujjah (argumen) pihak yang
lain, agar saling memahami pendapat yang lain.
Berikut
ini akan kami paparkan secara ringkas dalil - dalil para ulama yang mewajibkan
cadar bagi wanita.
Pertama,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.”
(QS. An Nur: 31)
Allah
ta'ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu
juga mencakup
perintah
melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah
termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena
sarana memiliki hukum tujuan.
(Lihat
Risalah Al-Hijab, hal 7, karya SyaikhMuhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, penerbit
Darul Qasim).
Kedua,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu
Mas'ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: "(yaitu)
pakaian" (Riwayat Ibnu
Jarir,
dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa' IV/486). Dengan
demikian yang
boleh
nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.
Ketiga,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Berdasarkan
ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih
wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama
yang bijaksana ini
memerintahkan
wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? (Lihat
Risalah Al-Hijab, hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin,
penerbit Darul Qasim).
Keempat,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS.An Nur: 31)
Allah
melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia
sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan
laki-laki akan tergoda gara-gara
mendengar
suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena
memandang
wajah
wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar mendengar
suara gelang kaki
wanita.
Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan
kemaksiatan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al 'Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah
terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud)
menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 60)
Wanita-wanita
tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan
menanggalkan pakaian mereka. Ini
bukan
berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini
adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita
umumnya tidak menutupi wajah dan telapak
tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. (Lihat Risalah
Al-Hijab, hal 10, karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al 'Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Abdullah
bin Mas'ud dan Ibnu Abbas berkata tentang
firman
Allah "Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka." (QS An Nur:60):
"(Yaitu)
jilbab". (Kedua riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami'
Ahkamin
Nisa
IV/523) Dari 'Ashim Al-Ahwal, dia
berkata: "Kami menemui Hafshah
binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab
seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: "Semoga Allah
merahmati Anda, Allah telah berfirman,
"Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti
(dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak
(bermaksud)
menampakkan
perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)
Yang
dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada
kami: "Apa firman Allah setelah itu?" Kami menjawab:
"Dan
jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
(QS. An-Nur: 60) Dia mengatakan,
"Ini menetapkan jilbab." (Riwayat Al-
Baihaqi. Lihat Jami' Ahkamin Nisa IV/524)
Keenam,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)
Ini
berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang
membuka
wajahnya,
berkehendak menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh
laki-laki.
Wanita
yang tidak berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak
dapat dijadikan
sandaran
hukum. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 11, karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al- 'Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).
Ketujuh,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, "Allah memerintahkan kepada
istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan,
hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena)
dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja."
(Syaikh
Mushthafa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah
Ali bin Abi
Thalhah
yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami' Ahkamin Nisa IV/513) Qatadah
berkata tentang firman Allah ini (QS. Al- Ahzab: 59), "Allah memerintahkan
para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga
mereka mudah dikenali dan tidak diganggu." (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan
oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami' Ahkamin Nisa IV/514)
Diriwayatkan
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, "Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke
wajahnya, tetapi tidak menutupinya." (Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih.
Lihat Jami' Ahkamin Nisa IV/514) Abu 'Ubaidah As-Salmani dan lainnya
mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu
menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia
menutupi
hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu
dia
mengulurkan
selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis.
(Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami'
Ahkamin Nisa IV/513)
As-Suyuthi
berkata, "Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban
menutup kepala dan wajah bagi wanita." (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 51,
karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Perintah
mengulurkan jilbab ini meliputi menutup
wajah
berdasarkan beberapa dalil:
1.
Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh
badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya
dari ujung kepalanya turun sampai menutupi
wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
2.
Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah
adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istriistri dan anak-anak
perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk
engulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Maka
jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
3.
Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh
wanita-wanita sahabat.
4.
Dalam firman Allah: "Hai Nabi katakanlah kepadaistri-istrimu",
merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara
kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta
istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.
5.
Dalam firman Allah: "Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." Menutup wajah wanita merupakan
tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika
wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan
untuk membukaanggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita
merupakan sasaran gangguan dari laki laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi
wajahnya,seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia
tidak akan diganggu.
(Lihat
Hirasah Al-Fadhilah, hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul
'Ashimah).
Kedelapan,
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk
berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka,
saudara laki-laki mereka, anak lakilaki dari saudara laki-laki mereka, anak
laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuanperempuan yang beriman
dan hamba sahaya yang
mereka
miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 55)
Ibnu
Katsir berkata, "Ketika Allah memerintahkanwanita-wanita berhijab dari
laki-laki asing (bukan mahram), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib
berhijab dari karib kerabat ini." Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki
asing adalah termasuk menutupi wajahnya.
Kesembilan,
firman Allah:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
Ayat
ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk
menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan
hati laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap
manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat
ini maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau,
demikian para sahabat menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah,
badan,
dan perhiasan. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin
Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Kesepuluh,
firman Allah:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, danMucapkanlah
perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan
Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersihbersihnya.”(QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat
ini ditujukan kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk
menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai
wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup
wajah) bagi wanita dari beberapa sisi: 1. Firman Allah: "Janganlah kamu
tunduk dalam berbicara" adalah larangan Allah terhadap wanita untuk
berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan
membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita
haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan
ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan
sempurna
kecuali
dengan hijab.
2.
Firman Allah: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu" merupakan
perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan
merasatenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan
wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.
3.
Firman Allah: "Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yangdahulu" adalah larangan terhadap wanita dari banyak
keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan
keindahan, termasuk menampakkan wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 39-44,
karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit, Darul 'Ashimah).
Kesebelas,
Ummu 'Athiyah berkata:
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan
wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum
muslimin dandoa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat
mereka. Seorang wanita bertanya: "Wahai Rasulullah, seorang wanita di
antara kami tidak memiliki jilbab
(bolehkan dia keluar)?" Beliau menjawab: "Hendaklah kawannya
meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut."” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits
ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan
Rasulullah tidak
mengizinkan
wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan
agama.
Maka
hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15,
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keduabelas,
'Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat
subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan
shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan
terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah
Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin ShalihAl 'Utsaimin, penerbit
Darul Qasim).
Ketiga
belas, Perkataan 'Aisyah: "Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat wanitawanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang
para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita
mereka."
Diriwayatkan
juga seperti ini dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu.
Dari
riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang
berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan
bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-'Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat
belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan
sombong,Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Kemudian
Ummu Salamah bertanya: "Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian
mereka?" Beliau
menjawab:
"Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l"
Ummu
Salamah berkata lagi: "Kalau begitu telapak kaki mereka akan
tersingkap?" Beliau menjawab:
"Hendaklah
mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya." (HR.
Tirmidzi, dan lainnya) Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki
wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan
terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah
dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan
wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima
belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian
dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah
seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka
hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan
lainnya)
Hadits
ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki
asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-'Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Keenam
belas, 'Aisyah berkata:
“Para pengendara kendaraan biasa melewati
kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang
di antara kami
menurunkan
jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami
membuka
wajah.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)Wanita
yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana
disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama
berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan
yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau
bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh
meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat
Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- 'Utsaimin,
penerbit Darul Qasim).
Ketujuh
belas, Asma' binti Abi Bakar berkata: "Kami menutupi wajah kami dari
laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram." (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: "Shahih berdasarkan syarat
Bukhari dan Muslim", dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini
menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita
sahabat. (Lihat
Hirasah
Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Kedelapan
belas, 'Aisyah berkata:
“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin
yang pertama-tama, ketika turun ayat ini:
"Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka." (QS.
Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya."
(HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya) Ibnu Hajar berkata (Fathul
Bari 8/490): "Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya" maksudnya
mereka menutupi wajah mereka." (Lihat Hirasah Al- Fadhilah, hal 69, karya
Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Kesembilan
belas, Dari Urwah bin Zubair:
Dari
'Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu'eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang
minta izin untuk
menemuinya
setelah turun ayat hijab. 'Aisyah berkata: "Maka aku tidak mau memberinya
izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang
maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku
agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Ibnu
Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): "Dalam hadits ini terdapat dalil
kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing."
Kedua
puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اْ“Wanita adalah aurat, jika
dia keluar, setan akan menjadikannya
indah pada pandangan laki-laki.” (HR.
Tirmidzi
dan lainnya) Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat
Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh
Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Kedua
puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kamu masuk menemui
wanita-wanita." Seorang laki-laki Anshar bertanya: "Wahai Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia
masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: "Saudara suami
adalah kematian. (Yakni: lebih
berbahaya
dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika
masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus
di balik
tabir.
Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah
Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Kedua
puluh dua, Perkataan 'Aisyah dalam peristiwa
Haditsul Ifki:
“Dia (Shawfan bin Al-Mu'athal) dahulu pernah
melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena
perkataannya: "Inna lillaahi…" ketika dia mengenaliku. Maka aku
menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR. Muslim)
Inilah
kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi
wanita
mukmin
secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal
72, karya Syaikh
Bakar
bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Kedua
puluh tiga, Aisyah berkata:
“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia
keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar
(dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak
samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu
Umar melihatnya, kemudian berkata: "Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah
tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim) Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi
dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa'
IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).
Kedua
puluh empat, terjadinya ijma' tentang kewajiban
wanita untuk selalu menetap di rumah dan
tidak
keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan
lewat di hadapan lakilaki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup
wajah. Ijma' ini dinukilkan oleh Al-Hafizh
Ibnu
Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat
Hirasah Al-Fadhilah, hal
38,
karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah). Kedua puluh lima,
banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita
akan menghiasi wajahnya sehingga
mengundang
berbagai kerusakan; hilangnya rasa maludari wanita; tergodanya laki-laki;
percampuran lakilaki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab,
hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Kedua
puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah
secara ringkas:
1.
Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu
telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun
pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab,
atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
2. Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas
penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil
yang
mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan
dalildalil
mutasyabih
(maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
3.
Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak
dapat diterima. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin
Abu Zaid, penerbit Darul 'Ashimah).
Ringkasan
Dalil-Dalil di Atas Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan
hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa
point:
1. Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup
wajah termasuk sarana untuk menjaga
kemaluan,
sehingga hukumnya juga wajib.
2.
Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari
laki-laki selain
mahramnya.
Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
3.
Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini
meliputi menutup wajah.
4.
Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi
wajah.
5.
Ijma yang mereka nukilkan.
6.
Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya
karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih
wajib.
7.
Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah
mereka. Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar Di antara para ulama
zaman ini yang menguatkan
pendapat
ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Muhammad bin
Shalih
Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr
Abu Zaid, Syaikh
Mushthafa
Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil
para ulama yang
mewajibkan
cadar (menutup wajah) bagi wanita. Dalil-Dalil
yang Tidak Mewajibkan Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan
cadar bagi wanita. Pertama, firman Allah
subhanahu wa ta’ala. “Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan
mereka
kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS.An Nuur: 31)
Tentang
perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, "Wajah dan telapak
tangan." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma'il Al Qadhi. Dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 59- 60, Penerbit Al
Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang
penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami'
Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan
sebagian tabi'in. Wallahu a'lam).
Perkataan
serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini
dishahihkan oleh
Syeikh
Al Albani dalam Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 59-60). Berdasarkan
penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan,
sehingga bukan merupakan aurat yang
wajib
ditutup.
Kedua,
firman Allah,
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu
Hazm rahimahullah berkata, "Allah ta'ala memerintahkan para wanita menutupkan
khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini
merupakan nash menutupi aurat,
leher
dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah,
tidak mungkin selain itu." (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar'ah
Al Muslimah, hal. 73).
Karena
memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh
para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al
Qur'an Al 'Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy
Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal.72-73).
Ketiga,
firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman:
“Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah
lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Katakanlah
kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
dan
janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
(QS. An Nur:
30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan
mungkin untuk dilihat.
Sehingga
Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu
yaitu
wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal.
76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan
pandangan dari wanita dan larangan
mengulangi
pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya, Dari
Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, Janganlah kamu duduk-duduk di jalan". Maka para Sahabat
berkata, "Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami
untuk bercakap-cakap." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
"Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak
jalan." Sahabat bertanya, "Apakah hak jalan itu?" Beliau
menjawab, "Menundukkan pandangan,
menghilangkan gangguan, menjawab
salam,
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran." (HR. Bukhari dalam
Adabul Mufrad no.
1150,
Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)
Juga
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu, “Wahai Ali, janganlah engkau turutkan
pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni,
tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam
Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah , hal. 77)
Jarir
bin Abdullah berkata, Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda,
"Palingkan pandanganmu." (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan
lainnya. Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi 'Iyadh berkata, "Para ulama
berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi
wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib
bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan,
kecuali untuk tujuan yang syar'i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh
Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya." (Adab Asy Syar'iyyah I/187,
karya Ibnu Muflih.
Lihat:
Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 77).
Keempat,
Diriwayatkan dari 'Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, َ Bahwa Asma' bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, "Wahai Asma', sesungguhnya
seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari
dirinya kecuali ini dan ini", beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak
tangannya. (HR. Abu Dawud, Thabarani, Ibnu 'Adi, dari jalan Sa'id bin Basyir
dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari 'Aisyah. Ibnu 'Adi berkata, "Terkadang
Khalid mengatakan dari Ummu Salamah,
sebagai
ganti dari 'Aisyah." Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata
setelah
meriwayatkannya,
"Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik
Tidak bertemu 'Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama
Sa'id bin Basyir lemah.”)
Hadits
ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini
dikuatkan dengan
beberapa
penguat (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 58). (1) Riwayat mursal
shahih dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas
terlihat
sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan."
(Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu
Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan.
Wallahu a'lam).
(2)
Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai'ah, dari 'Iyadh
bin Abdullah,
bahwa
dia mendengar Ibrahim bin 'Ubaid bin Rifa'ah Al Anshari menceritakan dari
bapaknya, aku menyangka dari Asma' binti 'Umais yang berkata, "Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui 'Aisyah, dan di dekat 'Aisyah ada saudarinya,
yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan
bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau
bangkit lalu keluar. Maka 'Aisyah berkata kepada Asma, "Menyingkirlah
engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat
perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir.
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab,
"Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, esungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak
boleh tampak darinya kecuali ini dan ini", lalu beliau memegangi kedua
lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang
nampak hanyalah jarijarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada
kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya." Al-Baihaqi
menyatakan, "Sanadnya dha'if."
Kelemahan
hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai'ah sering keliru setelah
menceritakan
dengan
hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika
menceritakan
dengan
bukunya. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan
penguat. (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 59).
(3)
Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan
perhiasan yang
biasa
nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab
Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 59). Kelima, Jabir bin Abdillah berkata, Aku
menghadiri shalat hari 'ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat.
Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah
dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang
banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau
menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, "Hendaklah kamu
bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah
seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman,
lalu bertanya, "Kenapa wahai Rasulullah?" Beliau bersabda,
"Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) uami." Maka
para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang
dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya) Hadits
ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka
wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita
itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal.
59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz
(shahih) dengan lafazh min safilatin nisa' (dari wanita-wanita rendah) sebagai
ganti lafazh sithatin nisa' (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu
mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib
menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a'lam).
Keenam,
Ibnu Abbas berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan
Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang
banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats'am meminta fatwa
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat
wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun
berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa sallam
memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al
Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Kisah
ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dia
menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban,
setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, "Maka Abbas
berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah, kenapa
anda memalingkan leher anak pamanmu?" Beliau menjawab, "Aku melihat
seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan
(menggoda) keduanya" (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani
menyatakan, "Sanadnya bagus") Dengan ini berarti, bahwa peristiwa
tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut
bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
Ibnu
Hazim rahimahullah berkata, "Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang
wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita
tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari
atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah
Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk." Ibnu Baththal
rahimahullah mengatakan, "Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk
menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah,
maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena
kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah
menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia
terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap
wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib
berhijab sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
(kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats'am tersebut untuk
menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat
(dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma' bahwa
wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh
laki-laki asing." (Fathu Al-Bari XI/8)
Perkataan
Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan
alasan bahwa wanita dari suku Khats'am tersebut muhrimah (wanita yang sedang
berihram). Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu
bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas.
Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka
pendapat
Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan
jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang
hal ini. (Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan
cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah
wajib
bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah
disukai (sunah).
Peristiwa
ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab
Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 61-64).
Ketujuh,
Sahl bin Sa'd berkata, “Bahwa seorang
wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
"Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada
Anda." Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau
menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya……"
(HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya) Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menyatakan, "Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan
kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya... tetapi (pemahaman)
ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena beliau ma'shum, dan yang telah menjadi kesimpulan
kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat
wanita mukmin yang bukan mahram, ini
berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul 'Arabi menempuh cara lain dalam
menjawab hal tersebut, dia mengatakan, "Kemungkinan hal itu
sebelum
(kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya."
Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan." (Fathul Bari
IX/210). Kedelapan, 'Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, ُ “Dahulu wanita-wanita
mukminah biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka)
kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang
pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain,
“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah
yang lain.” (HR. Abu Ya'la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani
dalam Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 66) Dari perkataan 'Aisyah,
"Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap." dapat dipahami,
jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut
kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah,
hal. 65).
Kesembilan,
ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam
mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-'iddah di rumah Ummu
Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan
menyatakan, “Bahwa Ummu Syuraik biasa
didatangi oleh orangorang Muhajirin yang
pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke rumah)
Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung,
penutup
kepala)
dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais
pergi kepadanya...” (HR. Muslim)
Hadits
ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkan Fathimah binti Qais
dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan
bahwa
wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi
karena beliau
shallallahu
‘alaihi wa sallam khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan
nampak apa
yang
harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat
untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak
akan melihatnya jika Fathimah binti Qaismelepaskan khimar. (Lihat Jilbab Al
Mar'ah Al Muslimah, hal. 65).
Peristiwa
ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis 'iddahnya dia mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim
Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9
H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah
adanya kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab A Mar'ah Al Muslimah, hal. 66-67). Kesepuluh,
Abdurrahman bin 'Abis, “Saya mendegar
Ibnu Abbas ditanya, "Apakah Anda (pernah) menghadiri (shalat) 'ied bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?" Dia menjawab, "Ya, dan jika
bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak
menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai endatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir
bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama
Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka,
dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan
tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain
Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud,
Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini 49 riwayat Bukhari dalam Kitab
Jum'ah)Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Inilah Ibnu Abbas –di hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelihat tangan para wanita, maka
benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib
ditutup." Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan
kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah
turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai'atun nisa' (surat Al
Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana
perkataan Muqatil. Sedangkan perintah Jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat
Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
Kesebelas,
dari Subai'ah binti Al-Harits, Bahwa dia menjadi istri Sa'd bin Khaulah, lalu
Sa'd wafat pada haji wada', dan dia
seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai'ah binti Al
Harits
melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya.
Kemudian Abu As
Sanabil
(yakni Ibnu Ba'kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah
memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersipsiap).
Lalu
Abu As Sanabil berkata kepadanya, "Jangan terburu-buru (atau kalimat
semacamnya) mungkin
engkau
menghendaki nikah..." (HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al
Mar'ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah
aurat pada
kebiasaan
para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai'ah
tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata
terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada', tahun 10 H. (Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah,
hal. 69).
Keduabelas, Atha bin Abi Rabah
berkata,
Ibnu Abbas
berkata kepadaku, "Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari
penghuni surga?" ku menjawab, "Ya". Dia berkata, "Itu
wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh,
auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!". Beliau
menjawab, "Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau
mendapatkan surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar
Dia menyembuhkanmu." Wanita tadi berkata, "Aku akan bersabar. Tetapi
(jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku
agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka." Maka beliau mendoakannya. (HR.
Bukhari, Muslim, 52 dan Ahmad)
Ketiga
belas, Ibnu Abbas berkata,
Dahulu ada
seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Maka
sebagian laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat
wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang.
Jika ruku', dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah
menurunkan (ayat),
“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui
orang-orang yang terdahulu daripadamu
dan sesungguhnya Kami mengetahui pula
orang-orang yang terkemudian (daripadamu).” (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus
Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al
Mar'ah Al Muslimah, hal. 70). Hadits ini
menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah
wanita
biasa terbuka.
Keempat
belas, Ibnu Mas'ud berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu membuat
beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan
di dekatnya ada banyak wanita. Maka
wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian
beliau bersabda: "Siapa pun lelaki yang
melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona, maka
hendaklah dia pergi
kepada
istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada
pada wanita itu.”
(HR. Muslim,
Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini
riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash
Shahihah
no. 235) Sebagaimana hadits sebelumnya,
hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Kelima
belas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari
seorang
wanita di antara mereka yang berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk menemuiku ketika aku sedang makan
dengan tangan kiriku, karena aku seorang
wanita yang kidal. Maka beliau memukul
tanganku sehingga sesuap makanan jatuh.
Lalu beliau bersabda, "Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan
tangan kanan untukmu." Atau bersabda, "Sedangkan Allah telah
menyembuhkan tangan kananmu." (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan
oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 72)
Keenam
belas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Hadits-hadits
di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiah yang membuka
wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan
hal ini terus berlangsung setelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan
Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini
semua menguatkan, bahwa wajah dan
telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga
wajib ditutup. Ketujuh belas,
anggapan terjadinya ijma' tentang wajah
dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib
ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan di antara
ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i), menyatakan
bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu
riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar
mazhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, "Karena kebutuhan
mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi."
(Lihat Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah,
hal. 7-9).
Kedelapan
belas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita
biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari
kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa
peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah
turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya membuka
wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian,
seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa
itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak
tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu tetap
sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka orang yang
mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan
bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang
didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.
Kesimpulan
Pertama,
wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena
hal itu
dilakukan
oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita
sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan. Kedua,
membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan hingga akhir masa
kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan
wanita-wanita pada zaman setelahnya. Ketiga, seorang muslim tidak boleh
merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya
berlebihan. Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan
cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri
dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum.
Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat;
menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus
ditutup. Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan
kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya.
Wallahu
a'lam bishshawwab.
http://muslim.or.id
Copyright
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar