BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kompensasi
2.1.1
Pengertian Kompensasi
Dalam suatu perusahaan
partisipasi pegawai atau sumber daya manusia akan dinilai dengan suatu imbalan
atau balas jasa. Imbalan atau balas jasa atau biasa disebut dengan kompensasi
penting bagi pegawai sebagai individu karena besarnya kompensasi mencerminkan
ukuran nilai kerja mereka diantara pegawai itu sendiri.
Menurut Marihot Tua Efendi
Hariandja (2005:244) menyatakan bahwa:
“Kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang
diterima oleh pegawai sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi
dalam bentuk uang atau lainnya, yang dapat berupa gaji, bonus, insentif, dan
tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan,
uang cuti, dan lain-lain”.
Menurut T. Hani Handoko
(2000:155) menyatakan bahwa: “Kompensasi
adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk
kerja mereka”.
Menurut Anwar Prabu
Mangkunegara (2005:83) menyatakan bahwa:
“Kompensasi merupakan sesuatu yang dipertimbangkan sebagai suatu yang
sebanding”.
Adapun pengertian kompensasi
menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2003 : 181) adalah:
“Kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh
perusahaan kepada para tenaga kerja karena tenaga kerja tersebut telah
memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan”.
Berdasarkan
pendapat para ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kompensasi
merupakan interaksi antara pegawai dengan organisasi, yang berupa timbal balik
dari jasa atau tenaga yang dikeluarkan oleh pegawai dan penghargaan dari
organisasi dalam bentuk upah atau fasilitas lainnya.
2.1.2
Tujuan Kompensasi
Tujuan
pemberian kompensasi menurut Suwatno (2001:111), pada dasarnya meliputi:
- Menghargai prestasi kerja
Dengan pemberian kompensasi
yang memadai adalah suatu penghargaan organisasi terhadap prestasi kerja para
pegawainya.
- Menjamin keadilan
Dengan adanya pemberian
kompensasi yang baik akan menjamin terjadinya keadilan diantara pegawai dalam
organisasi. Masing-masing pegawai akan memperoleh imbalan yang sesuai dengan
tugas, fungsi jabatan, dan prestasi kerjanya.
- Mempertahankan pegawai
Dengan pemberian kompensasi
yang baik, para pegawai akan merasa betah atau bertahan bekerja pada organisasi
tersebut.
- Memperoleh pegawai yang bermutu
Dengan
pemberian kompensasi yang baik akan menarik lebih banyak calon pegawai. Dengan
banyaknya pelamar atau calon pegawai akan
memperoleh lebih banyak peluang untuk memperoleh pegawai yang bermutu.
5.
Pengendalian biaya
Dengan pemberian kompensasi
yang baik, akan mengurangi seringnya melakukan rekrutmen. Sebagai akibat dari
makin banyaknyapelamar yang keluar keluar kerja, hal ini berarti penghematan
biaya.
- Memenuhi peraturan-peraturan
Sistem administrasi yang baik
akan merupakan tuntunan dari pemerintah (hukum). Suatu organisasi yang baik
dituntut adanya sistem administrasi yang baik pula.
2.1.3 Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kompensasi
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kompensasi menurut Suwatno (2001:112) , antara lain sebagai
berikut:
- Produktivitas
Organisasi apapun berkeinginan
untuk memperoleh keuntungan, baik material maupun non material. Maka organisasi
harus mempertimbangkan produktivitas pegawainya dalam kontribusinya terhadap
keuntungan organisasi tersebut.
2.
Kemampuan untuk membayar
Pemberian kompensasi akan
tergantung kepada kemampuan organisasi itu untuk membayar.
- Kesediaan untuk membayar
Kesediaan untuk membayar akan berpengaruh terhadap
kebijaksanaan pemberian kompensasi kepada pegawainya.
4.
Suplai dan permintaan tenaga
kerja
Banyak sedikitnya tenaga kerja
dipasaran kerja akan mempengaruhi sistem pemberian kompensasi.
- Organisasi karyawan
Dengan adanya
organisasi-organisasi pegawai akan mempengaruhi kebijakan pemberian kompensasi.
Organisasi pegawai ini biasanya akan memperjuangkan para anggotanya untuk
memperoleh kompensasi yang sepadan.
- Berbagai peraturan dan perundang-undangan
Dengan semakin baik sistem
pemerintahan, maka makin baik pula sistem perundang-undangan. Berbagai
peraturan dan undang-undang ini jelas akan mempengaruhi sistem pemberian
kompensasi pegawai oleh setiap organisasi, baik pemerintah maupun swasta.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi menurut Leon C. Megginson (1981:401)
yang diterjemahkan oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2005:84), adalah sebagai
berikut:
1.
Faktor Pemerintah
Peraturan pemerintah yang
berhubungan dengan penentuan standar gaji minimal, pajak penghasilan, penetapan
harga bahan baku, biaya transportasi, inflasi maupun devaluasi sangat mempengaruhi
perusahaan dalam menentukan pemberian kompensasi pegawai.
2. Penawaran Bersama antara Perusahaan dan
Pegawai
Dalam menentukan kompensasi
dapat dipengaruhi pula pada saat terjadinya tawar menawar mengenai besarnya
upah yang harus diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya.
3.
Standard an Biaya Hidup Pegawai
Dalam pemberian kompensasi
perlu mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal pegawai. Dengan
terpenuhinya kebutuhan dasar dan rasa aman pegawai akan memunkinkan pegawai
dapat bekerja dengan penuh motivasi untuk mencapai tujuan perusahaan.
4.
Ukuran Perbandingan Upah
Dalam menentukan kompensasi
dipengaruhi pula oleh ukuran besar kecilnya perusahaan, tingkat pendidikan
pegawai, masa kerja pegawai. Artinya, perbandingan tingkat upah pegawai perlu
memperhatikan tingkat pendidikan, masa kerja, dan ukuran perusahaan.
5.
Permintaan dan Persediaan
Dalam menentukan kompensasi
pegawai perlu mempertimbangkan tingkat persediaan dan permintaan pasar.
Artinya, kondisi pasar saat itu perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam
menentukan tingkat upah pegawai.
6.
Kemampuan Membayar
Dalam menentukan kompensasi
pegawai perlu didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam membayar upah pegawai.
Artinya, jangan sampai menentukan kebijakan kompensasi diluar batas kemampuan
yang ada pada perusahaan.
2.1.3
Komponen-komponen Kompensasi
Suatu organisasi yang telah
membuat keputusan tentang pemberian kompensasi bagi pegawainya, maka
selanjutnya disusunlah program pemberian kompensasi. Dalam program pemberian
kompensasi ini mencakup sekurang-kurangnya 8 komponen, antara lain sebagai
berikut:
1.
Organisasi administrasi
pemberian kompensasi
Pengorganisasian dan
administrasi pemberian kompensasi ini sangat diperlukan sekali. Sebab pemberian
kompensasi bukanlah sekedar membagikan upah atau gaji kepada pegawai saja,
melainkan harus memperhitungkan kemampuan organisasi serta produktivitas
pegawai dan aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan itu.
2.
Metode pemberian kompensasi
Dalam pemberian kompensasi
digunakan beberapa metode diantaranya:
a.
Metode Tunggal
Metode tunggal yaitu metode
yang dalam penetapan agji pokok hanya didasarkan atas ijazah terakhir dari
pendidikan formal yang dimiliki pegawai.
b.
Metode jamak
Metode jamak yaitu suatu
metode yang dalam gaji pokok berdasarkan atas beberapa pertimbangan seperti
ijazah, sifat pekerjaan, pendidikan, informal.
3.
Struktur pemberian kompensasi
Struktur pemberian kompensasi
yang baik adalah menganut faham keadilan. Setiap pegawai akan memperoleh
kompensasi sesuai denagn tanggung jawab pekerjaannya.
4. Program pemberian kompensasi sebagai
perangsang kerja
Suatu program pemberian
kompensasi bukan semata-mata didasarkan sebagai imbalan atas pengorbanan waktu,
tenaga dan pikiran pegawai terhadap organisasi, melainkan juga merupakan cara
untuk merangsang dan meningkatkan kegairahan kerja.
5.
Tambahan sumber pendapatan bagi
karyawan
Dengan program kompensasi yang baik bukan saja
memperoleh upah atau gaji yang rutin, melainkan juga memperoleh tambahan sumber
pendapatan selain upah atau gaji tersebut.
6. Terjaminnya sumber pendapatan dan
peningkatan jumlah imbalan jasa
Setiap pegawai suatu
organisasi mengharapakan bahwa kompensasi yang diterima tidak akan menurun, dan
bahkan setiap waktu akan naik. Oleh sebab itu pemberian kompensasi harus
menjamin bahwa organisasinya adalah merupakan sumber pendapatan bagi
pegawainya, dan selalu memikirkan adanya peningkatan jumlah kompensasi.
7.
Kompensasi bagi kelompok
manajerial
Pimpinan atau atasan pada
setiap organisasi adalah merupakan kelompok yang bertanggung jawab mati
hidupnya organisasi. Oleh sebab itu wajar apabila kompensasi yang mereka terima
lebih besar daripada pegawai biasa.
8.
Prospek dimasa depan
Untuk memperhitungkan prospek yang akan datang ini perlu
memperhitungkan tiga dimensi waktu yaitu: keadaan organisasi pada waktu yang
lalu, kondisi organisasi saat ini, dan prospek masa yang akan datang.
2.1.4
Kriteria Kompensasi
Kebijakan tentang pemberian
kompensasi suatu organisasi terhadap pegawai bukan sesuatu yang statis,
melainkan bersifat dinamis. Hal ini berarti bahwa ketentuan pemberian
kompensasi suatu organisasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketentuan pemberian kompensasi ini antara lain: keadaan
perekonomian suatu negara, kebijaksanaan pemerintah, tuntutan organisasi
pegawai, perkembangan ilmu dan tekhnologi. Namun demikian agar perubahan
ketentuan tersebut tidak begitu menimbulkan kegoncangan, ada beberapa kriteria
yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan pemberian kompensasi, antara
lain:
1.
Biaya hidup
Dengan mempergunakan kriteria
biaya hidup ini dimaksudkan agar pegawai dapat tetap mempunyai produktivitas
yang optimum, maka mereka harus memperoleh kompensasi sebesar biaya hidup saat
ini.
2.
Produktivitas kerja pegawai
Jika produktivitas kerja
pegawai baik maka kompensasi akan semakin besar. Sebaliknya jika produktivitas
kerjanya buruk serta sedikit maka kompensasinya kecil.
3. Skala upah atau gaji yang umum berlaku
Secara umum skala pemberian
kompensasi daapt mengacu kepada organisasi yang sederajat dan sejenis yang
sudah mempunyai skala pemberian kompensasi atau minimal lebih tinggi dari upah
minimum yang telah ditetapkan.
4.
Kemampuan membayar
Semua organisasi selalu memperhitungkan besarnya biaya
yang harus dikeluarkan untuk membayar kmopensasi pegawainya, dikaitkan dengan
biaya keseluruhan organisasi.
5. Upah atau gaji sebagai alat untuk menarik,
mempertahankan, dan memberikan motivasi kepada pegawai.
Organisasi yang baik akan
selalu menarik calon pegawainya untuk bekerja didalamnya, serta mempertahankan
pegawainya untuk tetap betah bekerja didalamnya. Disamping itu organisasi yang
baik akan memberikan motivasi kerja bagi pegawainya.
6.
Penawaran dan permintaan tenaga
kerja
Jika pencari kerja (penawaran)
lebih banyak daripada lowongan pekerjaan (permintaan) maka kompensasi relative
lebih kecil, begitupun sebaliknya.
7.
Serikat buruh atau organisasi
pegawai
Apabila serikat buruhnya kuat
dan berpengaruh maka tingkat kompensasi semakin besar. Sebaliknya jika serikat
buruhnya tidak kuat dan kurang berpengaruh maka tingkat kompensasi relative
kecil.
8.
Posisi jabatan pegawai
Pegawai yang menjabat jabatan
yang lebih tinggi maka akan menerima kompensasi yang lebih besar. Sebaliknya
pegawai yang jabatannya lebih rendah akan memperoleh kompensasi yang kecil.
9.
Pendidikan dan pengalaman kerja
Jika pendidikan lebih tinggi
dan pengalaman kerja yang lebih lama maka kompensasi akan semakin besar, karena
kecakapan serta keterampilan lebih baik.
2.2 Kepuasan
Kerja
2.2.1 Pengertian
Kepuasan Kerja
Pengertian kepuasan kerja
menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti besar
manfaatnya baik bagi kepentingan individu, industri dan masyarakat. Bagi
individu penelitian tentang sebab-sebab dan sumber-sumber kepuasan kerja
memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagian hidup mereka. Bagi
bidang industri penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha
peningkatan industri dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah
laku pegawai. Sedangkan bagi masyarakat tentunya akan menikmati hasil kapasitas
maksimal dari individu serta naiknya nilai manusia didalam konteks pekerjaan.
Pada dasarnya kepuasan kerja
merupakan suatu hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki
tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang
berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada
masing-masing individu. Dengan semakin banyaknya aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan
individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang dirasakannya
dan sebaliknya.
Menurut Marihot Tua Efendi
Hariandja (2005:290) mengemukakan bahwa:
“Kepuasan kerja merupakan salah satu elemen yang cukup penting dalam
organisasi”
Menurut Mathis dan Jackson
(2001:98) mengemukakan bahwa: “kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif
dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang”.
Menurut Luthan (2002:230)
mengemukakan bahwa: ”kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang menyenangkan atau
positif yang merupakan hasil dari prestasi kerja atau pengalaman”.
Menurut Sondang P. Siagian
(2006:295) mengemukakan bahwa: “kepuasan
kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun
yang bersifat negatif tentang pekerjaannya”.
Melihat dari batasan-batasan
mengenai kepuasan kerja diatas sebenarnya merupakan batasan yang sederhana dan
bersifat operasionil menurut hemat penulis kepuasan kerja adalah perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi kepuasan
kerja semacam ini melihat kepuasan itu sebagai hasil interaksi manusia dengan
lingkungan kerjanya. Jadi determinasi kepuasan kerja menurut batasan ini
meliputi perbedaan individu-individu maupun situasi lingkungan pekerjaan.
Disamping itu perasaan orang terhadap pekerjaannya tentulah sekaligus merupakan
refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaan.
Berdasarkan beberapa pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang
menyokong atau tidak menyokong dari pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan
melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan
pengembangan karier, hubungan dengan pegawai lainnya, jenis pekerjaan,
penempatan kerja, mutu pengawasan, struktur organisasi perusahaan. Sedangkan
perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain: umur, kondisi kesehatan,
kemampuan, pendidikan, dan keadaan emosi positif karyawan terhadap pekerjaanya.
Teori Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja pada dasarnya
merupakan suatu hal yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistim nilai yang berlaku pada
dirinya. Makin tinggi penilaian pada kegiatan didasarkan sesuai dengan
keinginan individu , maka makin tinggi kepuasannya terhadap kepuasan tersebut.
Dengan demikian kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas
perasaan sikap senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.
Menurut Veithzal Rivai
(2004:475) Teori Kepuasan Kerja antara lain:
1.
Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy
Theory)
Teori ini mengukur kepuasan
kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan
kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi yang
diterimanya maka orang akan lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy
tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang
tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa
yang dicapai.
2.
Teori Keadilan (Equety
Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa
orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidak adanya
keadilan (equity) dalam suatu sistim, khususnya sistim kerja. Menurut
teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan
ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi pegawai yang dianggap
mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan , pengalaman, kecakapan, jumlah
tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan
pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang
karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah atau gaji, keuntungan
sampingan, symbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil,
atau aktualisasi diri.
3.
Teori Dua Faktor (Two Factor
Theory)
Menurut teori ini kepuasan
kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan
ketidakpuasan itu bukan satu variable yang continue. Teori ini menunjukkan
karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfieas atau
motivator dan dissatisfieas. Satisfieas adalah faktor-faktor atau
situasi yang dibutuhkan sebagai sumber yang dibutuhkan kepuasan kerja yang
terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk
berprestasi, kesempatan untuk memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya
faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini
tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfieas (Hegein Factor)
adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: Gaji
atau upah pengawasan, hubungan antara pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor
ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan.
Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun jika besarnya
faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan
kecewa meskipun belum terpuaskan.
Alasan Pentingnya Kepuasan kerja
Menurut Indra Wijaya (2002:72) kepuasan
kerja secara umum menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya karena
menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya karena menyangkut sikap,
pengertian kepuasan kerja, mencakup berbagai hal, seperti kogmis, emosi dan kecenderungan perilaku
seseorang.
Kepuasan
kerja itu tidak nyata atau tidak nampak tetapi dapat terwujud dalam suatu hasil
pekerjaan. Oleh sebab itu kepuasan kerja, walaupun sulit dan abstrak, tetap
perlu dapat perhatian.
Lebih
lanjut Indra Wijaya (2002:72)
mengemukakan alasan pentingnya perusahaan memperhatikan kepuasan kerja. Beberapa diantara alasan tersebut adalah:
1.
Alasan Nilai
Para pegawai
menggunakan sebagian waktu bangunnya dalam pekerjaan. Oleh sebab itu baik
manajer maupun bawahannya menginginkan agar waktu tersebut dapat digunakan
dengan penuh kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan.
2.
Alasan Kesehatan Jiwa
Pekerjaan dan
organisasi merupakan faktor yang dapat menimbulkan tekanan psikologis. Juga
sudah umum diketahui bahwa seseorang yang melihat pekerjaan sebagai sesuatu
yang tidak berharga atau sebagai sesuatu yang tidak penting, cenderung
membawanya kelingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.
3.
Alasan Kesehatan Jasmani
Hasil penelitian yang dihasilkan oleh
Palmore (1969) di Amerika Serikat membuktikan mereka menyenangi pekerjaannya
cenderung berumur lebih panjang dibandingkan dengan yang menghadapi pekerjaan
yang kurang merka senangi. Sudah tentu ketetapan hasil penelitian Palmore
tersebut masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat faktor pekerja hanyalah
salah satu faktoryang dapat menyebabkan tekanan psikologis. Selain mendapat
kepuasan batin, orang yang menyenangi pekerjaannya juga cenderung mendapat
lebih banyak uang dari pekerjaan tersebut dan dengan demikian lebih mempunyai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya dengan baik, misalnya: sandang,
papan, pangan dan sebagainya.
Ketiga alasan
tersebut dalam kehidupan organisasi modern, dijadikan sebagai tingkat
kematangan suatu organisasidan karenanya sering dianggap kewajiban organisasi
untuk selalu memperhatikannya.
Menurut
Veithzal Rivai (2004:480) kepuasan kerja adalah bagaimana seseorang merasakan
pekerjaan dan aspek-aspeknya. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor
penentu atau keberhasilan suatu pekerjaan. Oleh karena itu perusahaan harus
benar-benar memperhatikan faktor kepuasan kerja ini. Ada beberapa alasan
mengapa perusahaan harus memperhatikan kepuasan kerja antara lain:
1. Pertama, manusia berhak diperlakukan adil
dan hormat pandangan ini menurut perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan
perluasan refleksi perlakuan yang baik. Penting juga memperhatikan indicator
emotional atau kesehatan psikologis. pegawai
2. Kedua, perspektif kemanusiaan bahwa
kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi
perusahaan. Perbedaan kerja antara unit organisasi dapat mendiagnosis potensi
persoalan. Buhler (1994) menekankan pendapatnya bahwa upaya organisasi
berkelanjutan harus ditempatkan pada kepuasan kerja dan pengaruh ekonomi
terhadap perusahaan. Perusahaan yang percaya pada pegawai dapat dengan mudah
diganti dan tidak berinvestasi maka akan menghadapi bahaya. Biasanya berakibat
tingginya tingkat turnover diiringi dengan membengkaknya biaya pelatihan, gaji,
memunculkan perilaku yang sama dikalangan pegawai, yaitu mudah berganti-ganti
perusahaan dan dengan demikian kurang royal.
Selain
beberapa alasan yang telah dikemukakan diatas, ada juga beberapa alasan yang
dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja antara lain:
1. Pekerjaan sesuai dengan bakat dan keahlian
2. Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan
yang cukup
3. Pekerjaan yang menyediakan informasi yang
lengkap
4. Pimpinan yang lebih banyak mendorong
tercapainya suatu hasil tidak terlalu banyak atau ketat melakukan pengawasan
5. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang
cukup memadai
6. Pekerjaan yang memberikan tantangan yang
lebih mengembangkan diri
7. Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan
ketenangan
8. Pekerjaan harapan yang dikandung pegawai
itu sendiri
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan
Kerja
Menurut A. A.
Anwar Mangku Negara (2005:120) ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
yaitu:
1. Faktor yang ada pada diri pegawai, yaitu:
kecerdasan (IQ), kecakapan khusus,umur, jenis kelamin, kondisi fisik,
pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi dan
sikap kerja.
2. Faktor pekerjaan, yaitu: jenis pekerjaan,
struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan
financial, kesempatan promosi jabatan, interaksi social dan hubungan kerja.
2.4 Peranan Pemberian Kompensasi
dalam Meningkatkan Kepuasan Kerja
Tinggi
rendahnya tingkat kompensasi yang diterima dan dirasakan oleh pegawai akan
mempengaruhi komitmen terhadap organisasi dan komitmen akan terpengaruh
terhadap kepuasan kerja pegawai yang bersangkutan.
Pegawai
yang merasa puas akan lebih mungkin terlibat dalam kolaborasi dan mau menerima
tujuan organisasi yang dapat meningkatkan produktivitas, sedangkan pegawai yang
tidak puas dapat gagal untuk bekerja secara kolaboratif namun mengesampingkan
usaha tujuan organisasi. Menurut T. Hani. Handoko (2000:155) bahwa “suatu
departemen dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan adalah melalui pemberian
kompensasi”. Hal ini pula didukung oleh, hasil penelitian Diyah Dumasari
Siregar ST, MM dengan judul Kepuasan Kerja vs Produktivitas, yang didalamnya
menyatakan bahwa kompensasi berperan dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawai.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa peranan pemberian kompensasi dalam
meningkatkan kepuasan kerja pegawai adalah bahwa tinggi rendahnya tingkat
kompensasi yang diterima dan dirasakan oleh pegawai berguna dalam meningkatkan
kepuasan kerja pegawai terhadap organisasi. Apabila kompensasi terpenuhi, maka
kepuasan kerja pegawai atas organisasi tinggi.
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:
Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler.
Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan sebagai berikut:
IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN
1. Kebutuhan Fisiologis
Identifikasi Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.
Tak diragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini.
Aplikasi Manajemen
Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan. Orang yang cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya, orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasar terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.
Aplikasi Manajemen
Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.
Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi.
Belakangan ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor perkembangan teknologi. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
3. Kebutuhan Sosial
Identifikasi Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Aplikasi Manajemen
Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
Aplikasi Manajemen
Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.
Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya. Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian.
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.
Aplikasi Manajemen
Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being man is having to be man.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar