Wawancara Jacob Rumbiak (1)
Cepat atau lambat Papua pasti merdeka
Merdeka.com - Sejak hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada
1969 menyatakan Papua ingin bergabung dengan Indonesia, krisis terus
membekap wilayah di ujung timur negara ini. Situasi keamanan fluktuatif.
Milisi
Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus melancarkan gerilya. Mereka
membunuh tentara, polisi, dan bahkan warga asing di sana. Kehadiran
pasukan keamanan di Papua tidak mampu menjamin sepenuhnya keamanan di
Bumi Cendrawasih.
Bukan sekadar perlawanan bersenjata, kaum-kaum
intelektual Papua terus bergerilya di luar negeri, termasuk Jacob
Rumbiak. Dalam kongres ketiga di Jayapura, papua, Oktober 2011,
menghasilkan terbentuknya negara Federasi Papua Barat, dia diangkat
sebagai menteri luar negeri.
Dari Kota Melbourne, Australia, dia
menggalang dan menyerukan sokongan bagi kemerdekaan Papua. Dia yakin
Papua bakal lepas dari cengkeraman Indonesia. "Cepat atau lambat pasti
kemerdekaan itu datang," katanya saat dihubungi melalui telepon
selulernya Rabu lalu.
Berikut penjelasan Jacob Rumbiak kepada
Faisal Assegaf dari
merdeka.com. Dengan
berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah
perjuangan Organisasi Papua Merdeka akan lebih bagus ke depannya?Saya
melihat bukan lebih bagus, tapi ada lebih keuntungan untuk kedua pihak
baik Indonesia dan Papua. Saya melihat dengan adanya proses baik itu
tidak ada kalah, tidak ada menang.
Perjuangan Papua Barat itu
bukan anti-Indonesia atau antipemerintah Republik Indonesia. Itu
menyangkut hak politik orang Papua. Kita harap dengan adanya presiden
baru ini bisa membuka satu ruang demokrasi sehingga kita bisa duduk dan
membicarakan masa depan bersama Indonesia dan Papua.
Jadi saya
lebih cenderung melihat bukan bagusnya, tapi bagaimana kita akan hadir
sebagai masyarakat eksternal dalam tanggung jawab bersama menjaga dunia
damai pada setiap bangsa. Sehingga tidak ada permusuhan di atas dunia
ini.
Memangnya Anda yakin selama Jokowi memerintah Papua bisa merdeka?Saya
melihat ada sedikit kerikil-kerikil kecil karena kendali jarak jauhnya
ada di Megawati. Tidak mungkin Ibu Mega mengkhianati perjuangan
bapaknya. Tapi kami harap beliau bisa mengerti sebenarnya kehancuran
Indonesia itu ada kesalahan kebijakan dari partainya. s
Sebenarnya
Indonesia bukan republik. Indonesia bukan negara bersistem
presidensial, sistemnya RIS (republik Indonesia Serikat). Kalau dari
awal Soekarno menjalankan sistem RIS, saya pikir Indonesia adalah negara
besar.
Sebab daerah diberikan wewenang membangun Indonesia.
Tapi karena adanya sistem kekuasaan di satu tangan, pusat, justru
Indonesia bukan semakin baik, justru semakin buruk.
Jadi Anda tidak yakin masa depan Papua bakal bagus saat pemerintahan Jokowi?Sebenarnya
saya yakin Pak Jokowi adalah orang baik, putra terbaik. Karena dia
punya rencana sungguh mulia. Dia akan angkat keadilan, dia ingin
memperbaiki kesalahan sejarah. Karena bangsa besar, bangsa betul-betul
meletakkan nilai-nilai bangsanya dalam sejarah benar.
Sebenarnya
Papua itu bagian dari taktik Amerika untuk meruntuhkan Soekarno.
Sehingga saya pikir sudah saatnya untuk Indonesia dan Papua, kita
membangun masa depan. Indonesia dan Papua sebenarnya sama-sama korban
dari perang global atau kebijakan dunia.
Itu sebabnya jangan
kita terus saling memusuhi. Kita bukan musuh. Kita merupakan kedua pihak
korban dari perang dingin. Kita perlu ambil kebijakan masa depan untuk
kedua pihak, Indonesia dan Papua. Saya pikir rakyat Papua bicarakan
lebih dekat dengan Indonesia.
Kami tidak bisa lari jauh.
Indonesia punya peran penting dimana kami harus akui. Ada
kemajuan-kemajuan besar kami miliki dari Indonesia dan itu orang Papua
akui. Tapi kami juga mengendaki pemerintah Indonesia menghargai dan
mengakui hak kedaulatan kami, hak-hak politik kami.
Memangnya Jokowi menjanjikan referendum untuk Papua?Saya
belum dengar dari Pak Jokowi. Kalau perlawanan atau perjuangan rakyat
Papua tetap berlanjut, Indonesia sangat rugi sekali karena pengeluaran
keuangan sangat banyak. Banyak korban putra-putra terbaik Indonesia mati
di sana karena kebijakan pemerintah.
Kematian orang-orang sipil
dan militer Indonesia di Papua itu membuat saya sangat sedih. Karena
itu kebijakan salah oleh pemerintah dan mereka itu anak-anak rakyat,
anak-anak terbaik. Kalau kita bisa mengatur sesuatu sejak dini, kita
tidak buat kesalahan seperti zaman Belanda menjajah Indonesia 350 tahun.
Papua sangat kaya. Kalau pemerintah pusat bisa mengakui hak
politik kami, kami akan menandatangani perjanjian bilateral. Banyak
orang Papua itu sudah siap, meminta segera Papua itu punya kedaulatan.
Ketika
Indonesia mengakui hak kedaulatan politik Papua, sebelum mengalihkan
kegiatan administrasi dari Indonesia ke Papua, kami akan tanda tangan
hubungan bilateral. Jangan ragu dan takut soal orang-orang sipil
Indonesia ada di Papua. Papua siap menjamin karena kemerdekaan
sesungguhnya bukan untuk orang Papua tapi menjamin seluruh warga negara
asing ada di Papua.
Kami punya program 50 tahun ke depan kerja
sama dengan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Jadi tidak ada sesuatu
perlu ditakutkan.
Kenapa Anda bisa yakin rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia?Kami
sangat yakin akan lepas karena pertama, wilayah Papua direbut dengan
kekuasaan militer. Itu sudah jelas, tidak bisa disangkal. Kedua, dokumen
600 halaman dari Amerika Serikat menyebutkan Amerika terlibat dalam
mengalihkan Papua ke Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
pada 1969 tidak mengikuti sistem PBB satu orang satu suara.
Ketiga,
hari ini ada perlawanan rakyat itu berarti Indonesia jangan menganggap
enteng. Sebab filosofi kebenaran mengatakan ketika sebuah bangsa mulai
berpikir tentang kemerdekaan, baiknya serahkan saja. Sebab cepat atau
lambat pasti kemerdekaan itu datang.
Memangnya dari OPM pernah mengadakan survei internal menyatakan sebagian besar rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia? Sudah.
Kami sudah punya hasil survei dari DPR pusat, itu dipimpin Pak Abdul
Ghofur pada 1999. Kemudian 2003, kalau tidak salah itu ada tiga NGO dari
internasional dan tiga dari Indonesia. Survei LIPI menyatakan mayoritas
orang Papua ingin merdeka.
Kemudian dari hasil survei
International Justice Indonesian Comissions of Jurish Australian pada
2001. Kemudian dari Universitas Cenderawasih Universitas Papua, dua
universitas terkenal.
Anda perlu tahu di Papua kami punya
tokoh-tokoh rohaniwan baik itu muslim, Katolik, Kristen, sangat kompak
menyatu dan mereka sendiri sudah beberapa kali mencoba bertemu SBY untuk
menyatakan orang Papua ingin merdeka.
Jadi itu sudah jelas.
Keterbukaan sudah ada. Hanya tinggal kami harap dari pihak Jakarta bisa
menanggapi ini sehingga jangan membuang-buang uang untuk mempertahankan
sesuatu nanti tidak mungkin dipertahankan.
Dari semua survei, rata-rata berapa persen rakyat Papua ingin merdeka?Rata-ratanya
sudah di atas 75 persen. Kalau ditanya apakah lewat pengakuan atau
referendum, saya sarankan sebaiknya pengakuan karena sudah ada bukti
dari sekitar lebih dari tujuh lembaga termasuk lembaga negara dan
independen mengumumkan hasil sureinya sudah di atas 75 persen orang
Papua ingin merdeka.
Maksud saya, mengapa harus gunakan
pengakuan saja. Sebab referendum itu sangat membuang biaya sangat besar.
Gaji seorang anggota PBB per bulan itu USD 85 ribu. Kenapa uang itu
tidak kita pakai saja untuk bangun Indonesia dan bangun Papua.
Kedua,
semasa kita menyiapkan referendum itu promerdeka dan prointegrasi
saling membunuh, saling merusak, saling menghina, dan lain-lain. Itu
tidak ada guna sama sekali. Kecuali kalau memang ingin membuktikan
mayoritas orang Papua memang ingin merdeka, referendum adalah alat ukur
demokrasi. Tapi dampak negatifnya lebih besar karena membuang uang,
tenaga, waktu.
Papua lebih kaya. Timor Leste tidak ada
apa-apanya. Tidak perlu takut soal kebebasan, kemerdekaan Papua. Sebab
Papua punya kewajiban moral bekerja sama dengan Indonesia. Kenapa tidak?
Kami juga perlu tenaga kerja. Tenaga kerja masih menganggur perlu untuk
bangun Papua juga.
Tapi, 75 persen itu kan hasil survei satu dasawarsa lalu, Apa masih yakin jumlahnya tetap, mau merdeka masih lebih banyak?Iya, justru sekarang lebih banyak.
Kapan survei terakhirnya?Terakhir itu pada 2007 dan 2010.
Pada 2010 siapa menyelenggarakan survei? 2007 itu dari Signi Uni. Sedangkan 2010 dan 2012 itu dari Unipa dan dari Uncen, Jayapura.
Hasilnya berapa persen mau merdeka?Itu sudah di atas 80 persen.
Masih
banyak masyarakat buta huruf di Papua. Mereka memangnya bisa mengerti
merdeka itu lebih baik ketimbang tetap bergabung dengan Indonesia?Memang
betul, beberapa orang generasi zaman Belanda, peralihan, mereka masih
umur sekitar 9, 10, 12 tahun. Sekarang hampir rata-rata mereka msih
hidup. Mereka merasa situasi di zaman Belanda itu lebih bagus karena
saat tidak ada pembunuhan hebat, tidak ada penculikan. Justru biasa
polisi Belanda hadapi itu perang suku. Ada perang suku tapi tidak di
semua tempat.
Kedua, ketika dua masyarakat saling berkelahi di
pelabuhan atau di jalan, tentara tidak bisa cabut senjatanya atau polisi
tidak pernah menembak rakyat. Tapi dibandingkan setelah Indonesia
hadir, wah itu pembunuhan, penculikan, pembantaian terlalu besar.
Jadi
mereka kalau dikategori buta huruf ini, mereka bukan melihat soal
sesuatu bagus atau tidak. Tapi mereka punya pengalaman, terutama di
kampung-kampung itu mereka hidup dari kebun. Kalau kita di kota, di
Indonesia, hampir bisa katakan 80 persen orang hidup dari uang. Di Papua
tidak ada.
Kalau ada orang bilang miskin itu sebetulnya
kategori modern. Orang Papua masing-masing punya tanah dan kebun. Jadi
kategori miskin mungkin dari segi pendapatan uang, tapi dari segi
makanan mereka tidak miskin. Orang-orang ini kini sulit untuk berkebun
karena tentara sudah ada di hutan-hutan. Tidak seperti zaman dulu
sebelum Indonesia masuk.
Jadi mereka melihat sebaiknya pilih
merdeka saja supaya mereka bisa makan atau tidak makan, mencari atau
tidak punya apa-apa, mereka hidup bebas. Sehingga mereka bisa hidup dari
apa mereka punya.
Kedua, mereka melihat otonomi khusus itu
bukan mempersatukan orang Papua tapi proses semacam zaman Belanda,
devide et impera, adu domba. Jadi orang di daerah lain, orang di daerah
seperti Wamena itu tidak bisa jadi bupati di Biak. Sebelum otonomi
khusus, orang Biak bisa jadi bupati di Merauke, orang Merauke bisa jadi
bupati di Manokwari. Sekarang tidak bisa.
Sistem sukuisme
betul-betul menjadi sistem memecah belah antar sesama saudara di Papua.
Ini betul-betul kelihatan. Dulu tidak. Jadi sekarang ini kita lihat
bagaimana orang Papua diadu domba, mulai diperalat, sampai harus kasih
senjata untuk tembak orang-orang, tembak polisi sendiri atau tembak
tentara sendiri dan katakan itu kejahatan orang Papua. Dulu tidak pernah
ada.
Itu sebabnya orang-orang tadi disebut buta huruf, mereka
merasa pilihan merdeka itu solusi tepat sehingga tidak perlu lagi ada
adu domba. Kemudian mereka mau hidup baik atau tidak, mereka punya hak
untuk mengatur masa depan.
Dulu setelah Konferensi Meja Bundar
1949, Indonesia mati-matian menyatakan mau membebaskan Papua dari
penjajahan, mau membangun Papua. Kok kenapa sampai 52 tahun dia baru
ajukan segala program pembangunan. Kemudian bagaimana dengan program
awal? Kalau itu betul seperti dinyatakan oleh Indonesia zaman itu kenapa
baru sekarang? Dalam usia manusia, itu sudah di atas 17 tahun itu usia
mampu. Kok kenapa 52 tahun baru mulai mau diajar jalan, duduk, makan,
ini aneh. Tapi begitulah kenyataannya.