BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Menurut Undang-Undang Perbankan No.14 tahun 1967,
pengertian bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit
dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Selanjutnya
berdasarkan penjelasan tentang Undang-Undang Perbankan yang baru yaitu
Undang-Undang Perbankan No.7 tahun 1992 maka dilakukan langkah-langkah
penyempurnaan tata perbankan di Indonesia diantaranya adalah langkah-langkah
penyederhanaan jenis bank menjadi bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR)
serta memperluas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat
diselenggarakannya. Menurut Undang-Undang Perbankan No.7 tahun 1992, bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. BPR adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
atau dalam bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam sistem perbankan di Indonesia Bank Perkreditan Rakyat diberi peran yang
penting, yaitu memberikan pelayanan perbankan kepada usaha kecil atau usaha
mikro dan sektor informal, terutama di daerah pedesaan. Dengan membantu dalam
memberikan pelayanan perbankan khususnya dalam pemberian pinjaman untuk
menciptakan pekerjaan mandiri kepada rakyat kecil yang bekerja dalam sektor
informal di kota maupun di daerah pedesaan, Bank Perkreditan Rakyat berperan
dalam membantu menciptakan lapangan kerja baru, pemerataan kesempatan berusaha
dan pemerataan pendapatan.
2.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan diatas maka
makalah ini akan membahas tentang:
1. Bagaimana peran BPR dalam perekonomian Indonesia?
2. Apa kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK?
3. Bagaimana
kondisi Persaingan BPR dengan lembaga keuangan lainnya?
4. Bagaimana pertumbuhan simpanan BPR?
5. Apa prospek BPR ke depan dalam rangka pembiayaan
UMK?
2.3 Tujuan Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. Mengetahui peran BPR dalam perekonomian Indonesia.
2. Mengetahui kendala yang dihadapi BPR dalam
pembiayaan UMK.
3. Mengetahui kondisi Persaingan BPR dengan lembaga
keuangan lainnya.
4. Mengetahui pertumbuhan simpanan BPR.
5. Mengetahui prospek BPR ke depan dalam rangka
pembiayaan UMK.
BAB II
PENMBAHASAN
2.1 Peran BPR dalam perekonomian Indonesia
Pengertian atau definisi bank menurut Undang-Undang
Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah : “Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya ke dalam masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”. Sehubungan dengan definisi bank tersebut bank menduduki posisi yang
strategis di dalam perekonomian nasional karena :
1) Bank berperan dalam pembangunan nasional
2) Bank berperan dalam pembagian pendapatan
masyarakat.
Peranan bank dalam pembangunan
nasional yakni, kegiatan bank dalam menghimpun atau memobilisasi dana yang
menganggur dari masyarakat dan perusahaan-perusahaan kemudian disalurkan ke
dalam usaha-usaha yang produktif untuk berbagai sektor ekonomi seperti
pertanian, pertambangan, perindustrian, pengangkutan, perdagangan dan jasa-jasa
lainnya akan meningkatkan pendapatan nasional dan pendapatan masyarakat.
Demikian pula akan membuka dan
memperluas lapangan atau kesempatan kerja. Sehingga dapat menyerap tenaga kerja
yang menganggur di dalam masyarakat. Kegiatan dalam pemberian jasa-jasa dalam
lalu lintas pembayaran dan peredaran uang dapat membantu memperbesar dan
memperlancar arus barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat.
Peranan bank dalam pembagian
pendapatan masyarakat yakni, dalam kebijakan pemberian kredit bank mempunyai
peranan yang sangat penting karena turut menentukan pembagian pendapatan
masyarakat. Kredit merupakan sarana yang ampuh bagi mereka yang memperolehnya,
sebab dengan memperoleh kredit seseorang dapat menguasai faktor-faktor produksi
untuk kegiatan usahanya. Makin besar kredit yang diperoleh, makin besar pula
faktor produksi yang dikuasai, sehingga makin besar pula bagian pendapatan
masyarakat yang dapat diraihnya.
Sehubungan dengan itu melalui sistem perbankan
yang kita miliki dan kebijakan perkreditan yang tepat bank dapat melaksanakan
fungsinya dalam membantu pemerintah untuk memeratakan kesempatan berusaha dan
pendapatan di dalam masyarakat. Dengan demikian kita dapat turut mewujudkan
masyarakat yang kita citacitakan, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
2.1.1 Peran Bank Perkereditan Rakyat(Bank khusus untuk
melayani usaha kecil)
Pada masa penjajahan Belanda sistem
perbankan di Indonesia erat hubungannya dengan politik ekonomi kolonial
Belanda. Pada waktu itu Indonesia dijadikan sebagai negeri penghasil
bahan-bahan mentah untuk ekspor dan sebagai pasar untuk barang-barang yang
dihasilkan oleh negara-negara Barat terutama negeri Belanda. Oleh karena itu
kebanyakan bank-bank yang didirikan bukanlah untuk membiayai perekonomian
rakyat seperti pertanian rakyat, perkebunan rakyat, kerajinan tangan, industri
kecil dan usaha-usaha lain yang dilaksanakan oleh rakyat, khususnya orang-orang
Indonesia. Bank-bank milik orang Eropa terutama mengarahkan kegiatannya untuk
pembiayaan perusahaan-perusahaan perkebunan dan untuk impor-ekspor.
Demikian pula bank-bank milik
orang-orang Asia seperti Cina dan Jepang juga meniru usaha perkreditan
bank-bank Belanda. Karena itu para pedagang atau pengusaha pribumi untuk
keperluan permodalannya tergantung pada kekayaan perorangan, baik milik sendiri
atau meminjam dari sanak keluarga dan handai tolan ataupun pada pelepas uang
atau rentenir dan para tengkulak. Baru pada akhir abad kesembilanbelas mulai
ada usaha-usaha untuk memperhatikan kebutuhan kredit rakyat dan untuk
mendirikan bank untuk memenuhi kebutuhan rakyat kecil.
2.1.2 Latar Belakang Pendirian Bank Perkreditan Rakyat
Dalam abad kesembilanbelas telah
terjadi proses kemiskinan rakyat Indonesia,terutama yang berada di daerah
pedesaan di Pulau Jawa dan Madura. Hal ini disebabkan karena pada abad itu dan
sebelumnya rakyat Indonesia, khususnya yang hidup di daerah pedesaan dibebani
pajak-pajak dan pungutan-pungutan yang berat baik berupa uang, hasil bumi
maupun kerja yang tidak dibayar. Beban penderitaan rakyat di pedesaan terutama
terjadi dalam masa dilaksanakannya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) oleh
Pemerintah Hindia Belanda antara tahun 1830-1870.
Beban yang berat tersebut
disertai pula dengan peningkatan jumlah penduduk yang mulai naik dengan laju
yang cepat sejak abad tersebut. Hal ini pun mempunyai pengaruh pula terhadap
turunnya tingkat kesejahteraan dari rakyat Indonesia, karena kenaikan jumlah
penduduk dan kenaikan produksi pangan menjadi tidak seimbang. Timbulnya
“Politik Ethis” pada akhir abad kesembilanbelas di negeri Belanda, yang
menginginkan diadakannya perbaikan terhadap keadaan
rakyat Indonesia yang telah menderita karena Tanam
Paksa dan ekses-eksesnya, dan agar keuntungan yang diperoleh negeri Belanda
dari tanam Paksa tersebut dikembalikan kepada rakyat Indonesia terutama
petaninya.
Sehingga Parlemen Negeri Belanda
antara lain mendesak agar kepada masyarakat Indonesia terutama didaerah
pedesaan diberikan bantuan kredit. Maka timbullah gagasan-gagasan dari
orang-orang Belanda baik di negeri Belanda maupun di Indonesia untuk mendirikan
lembaga perkreditan untuk membantu penduduk Indonesia khususnya yang bermukim di
pedesaan. Usaha ini dimaksudkan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut
daripada kesejahteraan para petani serta meningkatkan daya tahan mereka
terhadap bencana-bencana yang dapat terjadi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Mr. Pijnaker Hordijk menunjuk W.P. Groeneveldt anggota Dewan Hindia Belanda
untuk mengadakan penelitian mengenai keadaan ekonomi orang-orang Timur Asing di
Jawa dan Madura. Hal ini berkaitan dengan peran mereka sebagai pemberi kredit
kepada orang-orang Indonesia. Tekanan dari penelitian itu adalah penguasaan
yang dilakukan orang-orang Timur Asing terhadap orang-orang Indonesia melalui
praktek-praktek woeker, yaitu pinjaman uang dengan suku bunga yang sangat
tinggi dan dengan persyaratan yang sangat berat.
Ketika Groeneverdt diangkat sebagai
wakil ketua Dewan, maka F. Fokkens ditunjuk oleh Pemerintah untuk mengadakan
penelitian tersebut. Dalam kesimpulan dari penelitian tersebut Fokkens
menyarankan agar untuk membantu memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia akan kredit
perlu didirikan Bank Hipotik yang juga bekerja sebagai kas tabungan. Bank ini
hendaknya diprakarsai oleh pihak swasta, akan tetapi diawasi oleh Pemerintah.
Bank tersebut yang merupakan juga bank pertanian perlu dicoba dahulu dibeberapa
tempat. Apabila percobaan ini berhasil, maka dapat dikembangkan kedaerah-daerah
lain. Kendala yang terdapat dalam cara pemberian kredit ini adalah karena
tanah-tanah orang Indonesia tidak diregistrasi dan tidak dapat diikat dengan
hipotik. Cara pemberian kredit tersebut tidak dapat dilaksanakan karena
kemudian ditemukan cara lain untuk pelaksanaan kredit pertanian. Yaitu pada
bulan Desember 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah didirikan Bank Priyayi atau Bank
Pegawai oleh seorang pegawai pemerintah bangsa Indonesia yang memberikan
pinjamannya kepada para pegawai negeri bangsa Indonesia dan juga kepada para
tukang (pengrajin) dan petani.
21.3. Pendirian Bank Perkreditan Rakyat Pertama (Bank
Pegawai)
Bank Perkreditan Rakyat yang
pertama lahir pada akhir abad yang lalu ditengahtengah kemiskinan dan
penderitaan rakyat Indonesia di daerah Banyumas, Jawa Tengah oleh seorang
pegawai pemerintahan bangsa Indonesia R. Bei Aria Wirjaatmadja. Sebelum tahun
1875 R. Bei Aria Wirjaatmadja yang menjabat sebagai patih di Purwokerto telah
mengetahui bahwa banyak Pegawai Negeri terjerat hutang pada rentenir didaerah
itu.
Maka ia berusaha membantu membebaskan hutang mereka
kepada rentenir, yaitu mula-mula dengan uangnya sendiri dan kemudian dengan
persetujuan atasannya mempergunakan uang kas mesjid yang dipercayakan kepadanya
untuk pengurusannya. Kecuali membantu para pegawai negeri ia membantu pula para
petani dan tukang atau pengrajin dengan modal pertama sebesar Rp 4000,-
Kesulitan kemudian terjadi karena ada perintah bahwa uang kas mesjid tidak
boleh dipergunakan untuk keperluan lain daripada maksud semula.
Patih R. Bei Aria Wirjaatmadja
diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipergunakannya tersebut. Hal ini
tentunya tidak dapat dilakukan karena uang itu sudah dipinjamkan. Asisten
Residen E. Sieburgh yang mengetahui kejujuran patih dan tujuan dari -
penggunaan uang itu memberikan bantuannya dengan
membuat surat edaran kepada penduduk Purwokerto, baik yang berkebangsaan Eropa,
maupun orang-orang Indonesiauntuk membantu pengembalian uang kas mesjid. Karena
masyarakat di Purwokerto telah mengenal dan menghargai usaha yang telah
dilaksanakannya, maka mereka turun tangan mengumpulkan dana untuk menolong
patih yang jujur dari kesulitannya. Dalam waktu yang tidak lama terkumpul uang
sebesar Rp 4000,- untuk meneruskan “perusahaan bank” dari R. Bei Aria
Wirjaatmadja.
Dengan bantuan asisten residen E. Sieburgh uang yang
terkumpul dari masyarakat Purwokerto tersebut dijadikan modal pertama dari Bank
Perkreditan Rakyat yang pertama yang didirikan pada tanggal 16 Desember 1895.
Bank tersebut dinamakan “Hulp en Spaar Bank voor Inlandsche Hoofden” (Bank
Bantuan dan Tabungan untuk Kepala-kepala Bangsa Indonesia) atau “Hulp en Spaar
bank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” (Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai
Pemerintahan bangsa Indonesia) yang pada waktu itu dikenal sebagai Bank Priyayi
dan merupakan bank Pegawai. Kecuali kepada para pegawai negeri bank juga
memberi pinjaman kepada para petani dan tukang, mengenai pengertian tukang ini
mungkin meliputi antara lain tukang batu, tukang besi serta pengrajin pada
umumnya, untuk melepaskan diri dari jeratan rentenir atau pengijon.
2.1.3 Peran BPR dalam mengembangkan usaha mikro
Semenjak terjadinya krisis ekonomi hingga beberapa
tahun terakhir ini hampir semua Bank gencar menggarap sektor Usaha Menengah
Mikro dan Kecil (UMKM). Karena telah diakui bersama bahwa sektor inilah yang
paling tahan terhadap badai krisis ekonomi yang memporakporandakan perekonomian
nasional dengan menelan “korban” berbagai kalangan baik sektor perbankan, perdagangan,
jasa, tidak terkecuali para Birokrat selaku pemegang kebijakan. Beberapa Bank
dilikuidasi, perdagangan mandek, industri menghentikan produksi, PHK
dimana-mana, banyak L/C Indonesia tidak dipercaya di luar negeri, dan beberapa
pejabat bertumbangan. Tapi justru sektor UMKM dapat bertahan, bahakan mengalami
perkembangan yang signifikan.
Hal ini disebabkan antara lain
karena UMKM bergerak di hampir semua sektor ekonomi. Pertanian, perdagangan
eceran, industri rumah tangga, jasa-jasa, arisan RT, simpan pinjam kelompok dan
sebagainya, semua berjalan biasa. Populasinya juga bersifat masal dan tersebar
sehingga dapat menjadi penyedia barang dan jasa yang terjangkau bagi konsumen
bawah karena jaringan distribusinya luas. Kegiatan UMKM umumnya hanya menggunakan
teknologi sederhana, sehingga mudah menyesuaikan iklim dan lingkungan diamana
usahanya berada.
Dari sisi
pembiayaan, modal UMKM biasanya relatif kecil sehingga penyaluran kredit UMKM
dapat lebih merata, yang sekaligus menjadi strategi dari penyebaran resiko
kredit. Bagi Pengusaha Mikro, kredit Bank (baca ; BPR) merupakan madu yang
berarti manfaat dan memberi nilai tambah bagi pengembangan usahanya. Dengan
meminjam BPR usaha nasabah semakin meningkat, omset bertambah, dan keuntungan
melimpah. Itu artinya kredit yang diberikan Bank dapat menjadi madu bagi
nasabah.
Tapi sebaliknya, kredit bisa
menjadi racun karena setelah pinjam BPR usahanya menjadi tersendat, angsuran
meningkat, bahkan bisa jadi usahanya sekarat. Racun yang menimpa nasabah dapat
berimbas meracuni Bank, karena dengan tersendatnya usaha biasanya akan
berakibat pada terhambatnya angsuran. Meskipun pada beberapa kasus ada nasabah
yang usahanya bangkrut, tapi angsurannya tetap lancar yang bisa digambarkan
sebagai racunnya nasabah tapi madunya Bank, karena mungkin nasabah memeiliki
itikad dan karakter yang baik. Tetapi hal ini tentu tidak diinginkan oleh
nasabah maupun Bank.
Bagi BPR sendiri, kredit bagaikan madu di
tangan kanan atau racun ditangan kiri. Karena kredit menjadi tumpuan pendapatan
opersional dari bunga yang dibayar oleh nasabah. Rata-rata 80 % Pendapatan BPR
adalah bersumber dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan. Jika angsuran
nasabah lancar dalam membayar bunga dan pokok sebagaimana yang telah
diperjanjikan, maka kredit tersebut bisa dibilang menjadi madu bagi Bank.
Tetapi jika angsuran nasabah bermasalah atau bahkan macet, maka kredit tersebut
menjadi racun karena Bank harus menyediakan PPAPWD yang cukup untuk menutup
kerugian Bank akibat kredit macet.
Selain itu akibat kredit
bermasalah juga berdampak pada tertundanya pendapatan bunga, sedangkan biaya
terus bertambah. Lebih berbahaya lagi jika kredit bermasalah sudah seperti racun yang menjalar ke seluruh organ tubuh
sehingga berdampak pada timbulnya kematian / kebangkrutan.
Oleh karena itu bagaimana kredit
bisa menjadi madu bagi nasabah yang sekaligus madu bagi Bank, para analis
kredit tentu sudah paham betul dengan analisa pendekatan yang digunakan. Tetapi
bagaimana madu dapat mengalir secara terus menerus (sustainable) yang dapat
menghidupi Nasabah sekaligus menghidupi Bank, ini yang perlu dipikirkan.
Mengembangkan UMKM untuk menjadi nasabah yang menghasilkan madu secara terus
menerus bukanlah program kagetan, atau program serentak yang seketika itu juga
dapat dipetik hasilnya. Untuk membangun loyalitas UMKM yang sekarang menjadi
primadona dan sasaran perbankan perlu kesabaran dan komitmen yang kuat.
Betatapun canggihnya produk Bank Umum dan betapapun murahnya bunga Bank Umum,
UMKM yang sudah loyal menjadi nasabah BPR tidak mudah tergoyahkan oleh
tawaran-tawaran menggiurkan itu, karena pendekatan system analisis yang
digunakan BPR menggunakan pendekatan sosial budaya (socio cultural approach)
yang dinilai lebih tepat bagi UMKM. Bank Umum memang punya keunggulan
teknologi, sumber dana yang melimpah, networking secara nasional, lalu lintas
pembayaran melalui cek dan bilyet giro, dan sebagainya.
Tetapi BPR juga punya keunggulan
hubungan personal yang kuat dengan nasabahnya. BPR mampu memberi pelayanan yang
prima karena pelayanan yang dilakukan BPR adalah face to face. BPR juga mampu
menyesuaikan kondisi, adat istiadat, budaya dan perikehidupan masyarakat
sekitarnya. BPR dapat memberi lebih dari yang diharapkan nasabah, karena
umumnya UMKM tidak sekedar membutuhkan modal tetapi juga bimbingan, petunjuk,
konsultan, teman diskusi yang tidak semuanya dapat dilayani oleh Bank Umum. Dan
BPR umumnya bersedia berbagi pengalaman dalam suasana keakraban dengan memberi
sentuhan hangat kawan sejati. Hal ini berbeda dengan pelayanan Bank Umum pada
UMKM yang dinilai terlalu kaku dan prosedural.
2.2 Kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK
Walaupun terlihat adanya peran
yang sudah dimainkan oleh BPR di dalam pembiayaan UMK seperti yang telah
dijelaskan di atas, akan tetapi beberapa kendala masih dijumpai. Jika
diperhatikan kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
berdasarkan sumbernya, yaitu: Bersumber dari internal BPR dan Eksternal BPR.
Secara internal kendala yang dihadapi oleh BPR, pertama adalah tingkat bunga
kredit yang dianggap terlalu tinggi. Tingginya tingkat bunga ini disebabkanoleh
kombinasi cost of fund, risk premiun dan biaya operasional BPR yang tinggi.
Kedua informasi keberadaan BPR
yang belum optimal dan belum banyak diketahui oleh UMK disekitar wilayah
operasi BPR. Akibatnya, nasabah potensial tidak bisa dilayani dengan baik. Hal
ini berkaitan dengan metode promosi yang dilakukan olehBPR belum sesuai dengan
karakteristik nasabah potensial.Ketiga, faktor kecukupan modal masih menjadi
kendala dalam rangka pembiayaan UMK. Peningkatan jumlah modal BPR akan
berpengaruh kepada kemampuannya dalam menyalurkan kredit dalam jumlah yang
lebih besar.
Hal
yang lebih penting adalah adanya peraturan Bank Indonesia tentang persyaratan
modal minimum yang harus dipenuhi oleh BPR. Beberapa alternatif yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah ini diantaranya adalah merger dengan BPR
lain, penjualan saham baru dan melakukan pinjaman kepada pihak lain. Keempat, faktor
kualitas sumber daya manusia yang masih rendah khususnya di daerah-daerah yang
masih berkembang dimana sebagian besar kualifikasinya adalah tamatan SLTA
sehingga membatasi kemampuan BPR didalam melakukan operasional seperti
menganalisis dan mengawasi kredit serta dalam memberikan pelayanan dan
pengembangan produk baru. Secara eksternal peran BPR dalam pembiayaan BPR
menghadapi beberapa kendala berikut ini: Pertama, kondisi perekonomian yang
dianggap dapat mengurangi kemampuan BPR dalam meningkatkan penyaluran kredit
kepada UMK. Kedua, munculnya pandangan bahwa BPR menghadapi persaingan dari
berbagai dimensi diantaranya produk yang ditawarkan, tingkat bunga, mutu
pelayanan. Persaingan ini tidak hanya dari BPR yang lain tetapi juga dari
lembaga keuangan baik bank maupun non bank.
2.3 kondisi
Persaingan BPR dengan lembaga keuangan lainnya.
Dalam hal produk, Undang-Undang No.10 tahun
1998 tentang Perbankan pasal tiga belas membatasi usaha yang dilakukan oleh BPR
hanya pada empat jenis, yaitu: menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu; memberikan kredit; menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
danmenempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito
berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Sedangkan
jasa seperti giro, transfer, dan fee basedincome lainnya tidak diperbolehkan.
Halini tentu menimbulkan hambatan kepada BPR untuk mengembangkan pelayanannya.
Sementara itu BPR harus bersaing
dengan beberapa bank umum yang juga melayani kredit mikro seperti BRI Unit Desa
dan Danamon Simpan Pinjam dengan variasi produk yang lebih beragam. Hal ini
tentunya akan semakin memperberat persaingan yang dihadapi oleh BPR. Persaingan
antara BPR dengan bank umum lainnya belum menunjukkan ancaman yang serius.
Powers dan Hahn (2004), mengatakan bank yang tidak peduli dengan persaingan dan
tidak merespon strategi kompetitor adalah bank yang stuck-in-the-middle.
Dengan kata lain, jika BPR tidak
merespon strategi kompetitor maka tidak akan ada peningkatan BPR di dalam
manajemen usaha dan selanjutnya juga tidak meningkatkanya peran dalam
pembiayaan UMK. Artinya, BPR harus memiliki strategi yang jelas didalam
menghadapi persaingan dengan lembaga perbankan lainnya. Porter (1985),
menyatakan bahwa kinerja yang superior di dalam kondisi persaingan bisa didapat
melalui penerapan strategi overall costleadership, differentiation, atau focus.
Merujuk pada analisis terhadap nasabah BPR, maka strategi cost leadership tidak
cocok dilakukan oleh BPR karena cost offund dan risk premium belum bisa
diturunkan.
Sebagai alternatif untuk bersaing
dengan lembaga keuangan lainya maka strategi focus differentiation akan lebih
tepat dengan karakteristik nasabah BPR. Strategi fokus kepada pelayanan yang
sesuai dengan karakteristik UMK dan menciptakan diferensiasi dalam bentuk
pelayanan dan produk yang unik.
Implikasi bagi BPR adalah
perlunya identifikasi kembali core competency yang dimilikinya dan menyusun
rencana strategis pengembangan usaha secara komprehensif. Salah satu keunikan
karakteristik UMK dalam berhubungan dengan BPR adalah motivasi mengambil kredit
yang lebih mengutamakan kecepatan dan kemudahan dari pada tingkat bunga (not
pricesensitive).
Hal ini disebabkan sebagian besar
nasabah adalah pelaku usaha mikro dan kecil yang sering mengalami kesulitan
modal kerja dan butuh dana cepat. Berdasarkan informasi dari focusedgroup
discussion, pengalaman UMK yang pernah berhubungan dengan rentenir menunjukkan
kecepatan ketersediaan dana adalah faktor penentu pengambilan keputusan. Secara
rata-rata pencairan 29 kredit oleh BPR lebih cepat (2-3 hari) dibandingkan bank
umum walaupun bunga lebih tinggi dari bank umum (HasilFocused Group
Discussion). Artinya dengan tingkat bunga yang berlaku saatini dapat dimbangi
dengan kecepatan,kemudahan dan kenyamanan pelayananBPR yang lebih baik dan ini
merupakankunci untuk dapat menjangkau lebihbanyak UMK. Hal ini sejalan
denganKaynak dan Harcar (2005) yang mengatakan bahwa di dalam bisnisperbankan
yang berorientasi konsumen,kemampuan untuk menyediakan pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhansegmen pelanggan dan ketersediaansumberdaya dan kompetensi yang
sesuaidengan pasar sasaran merupakan aspekyang sangat penting.
2.4 Prospek BPR ke depan dalam rangka pembiayaan UMK
Adanya lembaga keuangan lokal
(local financial institutions) merupakan salah satu faktor penting untuk
mendukung percepatan pengembangan UMK di daerah. Lembaga keuangan lokal yang
telah banyak berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah selama ini
adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Prospek BPR dalam Pembiayaan UMKLembaga
Keuangan Mikro memilikiketerkaitan yang erat denganperkembangan usaha mikro.
Berkaitan dengan halitu, prospek BPR pada masa yang akandatang berhubungan erat
dengan tingkatperkembangan dan pertumbuhan UMKdimasa datang. UMK dimasa
datangdipercaya akan mempunyaiperkembangan yang semakin meningkat.
Hal
ini sudah terbukti dengan daya tahanyang ditunjukkannya pada masa krisis
ekonomi. UMK juga mempunyai peluanguntuk berkembang karena didukung
olehkebijakan pemerintah baik nasionalmaupun daerah melalui berbagai kebijakan,
program dan aktivitas.
Sejalan dengan tekad pemerintah untukmengentaskan
kemiskinan, maka salahsatu alternatif adalah melaluipengembangan UMK. Adanya pendidikan
kewirausahaan pada berbagailevel pendidikan dan perilaku sosial yangmempunyai
bakat berusaha yang tinggi,maka diharapkan perkembangan UMKakan lebih pesat.
Hal ini tentunya akanberakibat
kepada peningkatan kebutuhanmodal usaha akan menjadi potensi bagiBPR untuk
meningkatkan aktivitaspembiayaannya. Saat ini jangkuan pelayanan BPR
masihterbatas pada sekelompok nasabah atausekitar 18 persen dari seluruh UMK
diSumatera Barat. Hal ini merupakanpeluang bagi UMK untuk meningkatkanpelayanan
melalui perluasan jangkauankepada nasabah potensial.Berdasarkan analisis
tentang peran BPRdalam pembiayaan UMK di SumateraBarat, terlihat bahwa BPR
telah berperanmenjalankan fungsi intermediari-nya.Namun demikian kedepan BPR
memilikiprospek yang cukup baik untukpembiayaan UMK, tetapi dengan terlebih
dahulu mengatasi kendala dan hambatanbaik yang bersumber dari dalam maupun dari
luar BPR, seperti tingginya tingkatbunga, kurangnya sosialisasi, terbatasnya
modal dan kualitas SDM yang masih rendah.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sesuai Undang Undang Republik
Indonesia No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 10 tahun 1998, BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Usaha BPR meliputi,
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
memberikan kredit; menyediakan pembinaan dan penempatan dana sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; menempatkan dananya dalam bentuk
Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan
pada bank lain. BPR adalah salah satu bentuk lembaga keuangan mikro di
Indonesia yang telah memiliki akar dalam sosial ekonomi masyarakat pedesaan
Indonesia. Kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok berdasarkan sumbernya, yaitu: Bersumber dari internal BPR
dan Eksternal BPR. Secara internal kendala yang dihadapi oleh BPR yaitu tingkat
bunga kredit yang dianggap terlalu tinggi,informasi keberadaan BPR yang belum
optimal dan belum banyak diketahui oleh UMK disekitar wilayah operasi BPR,
faktor kecukupan modal, dan faktor kualitas sumber daya manusia yang masih
rendah khususnya di daerah-daerah yang belum berkembang.
Secara eksternal peran BPR dalam
pembiayaan BPR menghadapi beberapa kendala berikut ini: Pertama, kondisi
perekonomian yang dianggap dapat mengurangi kemampuan BPR dalam meningkatkan
penyaluran kredit kepada UMK. Kedua, munculnya pandangan bahwa BPR menghadapi
persaingan dari berbagai dimensi diantaranya produk yang ditawarkan, tingkat
bunga, mutu pelayanan. Persaingan ini tidak hanya dari BPR yang lain tetapi
juga dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank.
Dalam menjalani persaingannya, BPR harus
memiliki strategi yang jelas didalam menghadapi persaingan dengan lembaga
perbankan lainnya, dengan tingkat bunga yang berlaku saat ini dapat dimbangi
dengan kecepatan, kemudahan dan kenyamanan pelayanan BPR yang lebih baik dan
ini merupakan kunci untuk dapat menjangkau lebih banyak UMK.Kedepannya BPR
memiliki prospek yang cukup baik untuk pembiayaan UMK, tetapi dengan terlebih
dahulu mengatasi kendala dan hambatan baik yang bersumber dari dalam maupun
dari luar BPR, seperti tingginya tingkat bunga, kurangnya sosialisasi,
terbatasnya modal dan kualitas SDM yang masih rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar