Blogger news

Senin, 06 Agustus 2012

BPR ( Bank Perkreditan Rakyat )

 BAB I PENDAHULUAN
1.1   Latar belakang

Menurut Undang-Undang Perbankan No.14 tahun 1967, pengertian bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Selanjutnya berdasarkan penjelasan tentang Undang-Undang Perbankan yang baru yaitu Undang-Undang Perbankan No.7 tahun 1992 maka dilakukan langkah-langkah penyempurnaan tata perbankan di Indonesia diantaranya adalah langkah-langkah penyederhanaan jenis bank menjadi bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) serta memperluas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya. Menurut Undang-Undang Perbankan No.7 tahun 1992, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. BPR adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam sistem perbankan di Indonesia Bank Perkreditan Rakyat diberi peran yang penting, yaitu memberikan pelayanan perbankan kepada usaha kecil atau usaha mikro dan sektor informal, terutama di daerah pedesaan. Dengan membantu dalam memberikan pelayanan perbankan khususnya dalam pemberian pinjaman untuk menciptakan pekerjaan mandiri kepada rakyat kecil yang bekerja dalam sektor informal di kota maupun di daerah pedesaan, Bank Perkreditan Rakyat berperan dalam membantu menciptakan lapangan kerja baru, pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan.

2.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan diatas maka makalah ini akan membahas tentang:

1. Bagaimana peran BPR dalam perekonomian Indonesia?
2. Apa kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK?
 3. Bagaimana kondisi Persaingan BPR dengan lembaga keuangan lainnya?
4. Bagaimana pertumbuhan simpanan BPR?
5. Apa prospek BPR ke depan dalam rangka pembiayaan UMK?



2.3 Tujuan Tujuan pembahasan makalah ini adalah:

1. Mengetahui peran BPR dalam perekonomian Indonesia.
2. Mengetahui kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK.
3. Mengetahui kondisi Persaingan BPR dengan lembaga keuangan lainnya.
4. Mengetahui pertumbuhan simpanan BPR.
5. Mengetahui prospek BPR ke depan dalam rangka pembiayaan UMK.


























BAB II PENMBAHASAN

2.1 Peran BPR dalam perekonomian Indonesia

Pengertian atau definisi bank menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya ke dalam masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sehubungan dengan definisi bank tersebut bank menduduki posisi yang strategis di dalam perekonomian nasional karena :
1) Bank berperan dalam pembangunan nasional
2) Bank berperan dalam pembagian pendapatan masyarakat.

                Peranan bank dalam pembangunan nasional yakni, kegiatan bank dalam menghimpun atau memobilisasi dana yang menganggur dari masyarakat dan perusahaan-perusahaan kemudian disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif untuk berbagai sektor ekonomi seperti pertanian, pertambangan, perindustrian, pengangkutan, perdagangan dan jasa-jasa lainnya akan meningkatkan pendapatan nasional dan pendapatan masyarakat.
                Demikian pula akan membuka dan memperluas lapangan atau kesempatan kerja. Sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang menganggur di dalam masyarakat. Kegiatan dalam pemberian jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang dapat membantu memperbesar dan memperlancar arus barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat.
                Peranan bank dalam pembagian pendapatan masyarakat yakni, dalam kebijakan pemberian kredit bank mempunyai peranan yang sangat penting karena turut menentukan pembagian pendapatan masyarakat. Kredit merupakan sarana yang ampuh bagi mereka yang memperolehnya, sebab dengan memperoleh kredit seseorang dapat menguasai faktor-faktor produksi untuk kegiatan usahanya. Makin besar kredit yang diperoleh, makin besar pula faktor produksi yang dikuasai, sehingga makin besar pula bagian pendapatan masyarakat yang dapat diraihnya.
                 Sehubungan dengan itu melalui sistem perbankan yang kita miliki dan kebijakan perkreditan yang tepat bank dapat melaksanakan fungsinya dalam membantu pemerintah untuk memeratakan kesempatan berusaha dan pendapatan di dalam masyarakat. Dengan demikian kita dapat turut mewujudkan masyarakat yang kita citacitakan, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

2.1.1 Peran Bank Perkereditan Rakyat(Bank khusus untuk melayani usaha kecil)

                Pada masa penjajahan Belanda sistem perbankan di Indonesia erat hubungannya dengan politik ekonomi kolonial Belanda. Pada waktu itu Indonesia dijadikan sebagai negeri penghasil bahan-bahan mentah untuk ekspor dan sebagai pasar untuk barang-barang yang dihasilkan oleh negara-negara Barat terutama negeri Belanda. Oleh karena itu kebanyakan bank-bank yang didirikan bukanlah untuk membiayai perekonomian rakyat seperti pertanian rakyat, perkebunan rakyat, kerajinan tangan, industri kecil dan usaha-usaha lain yang dilaksanakan oleh rakyat, khususnya orang-orang Indonesia. Bank-bank milik orang Eropa terutama mengarahkan kegiatannya untuk pembiayaan perusahaan-perusahaan perkebunan dan untuk impor-ekspor.

                Demikian pula bank-bank milik orang-orang Asia seperti Cina dan Jepang juga meniru usaha perkreditan bank-bank Belanda. Karena itu para pedagang atau pengusaha pribumi untuk keperluan permodalannya tergantung pada kekayaan perorangan, baik milik sendiri atau meminjam dari sanak keluarga dan handai tolan ataupun pada pelepas uang atau rentenir dan para tengkulak. Baru pada akhir abad kesembilanbelas mulai ada usaha-usaha untuk memperhatikan kebutuhan kredit rakyat dan untuk mendirikan bank untuk memenuhi kebutuhan rakyat kecil.

2.1.2 Latar Belakang Pendirian Bank Perkreditan Rakyat

                Dalam abad kesembilanbelas telah terjadi proses kemiskinan rakyat Indonesia,terutama yang berada di daerah pedesaan di Pulau Jawa dan Madura. Hal ini disebabkan karena pada abad itu dan sebelumnya rakyat Indonesia, khususnya yang hidup di daerah pedesaan dibebani pajak-pajak dan pungutan-pungutan yang berat baik berupa uang, hasil bumi maupun kerja yang tidak dibayar. Beban penderitaan rakyat di pedesaan terutama terjadi dalam masa dilaksanakannya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) oleh Pemerintah Hindia Belanda antara tahun 1830-1870.
                Beban yang berat tersebut disertai pula dengan peningkatan jumlah penduduk yang mulai naik dengan laju yang cepat sejak abad tersebut. Hal ini pun mempunyai pengaruh pula terhadap turunnya tingkat kesejahteraan dari rakyat Indonesia, karena kenaikan jumlah penduduk dan kenaikan produksi pangan menjadi tidak seimbang. Timbulnya “Politik Ethis” pada akhir abad kesembilanbelas di negeri Belanda, yang menginginkan diadakannya perbaikan terhadap keadaan
rakyat Indonesia yang telah menderita karena Tanam Paksa dan ekses-eksesnya, dan agar keuntungan yang diperoleh negeri Belanda dari tanam Paksa tersebut dikembalikan kepada rakyat Indonesia terutama petaninya.

                Sehingga Parlemen Negeri Belanda antara lain mendesak agar kepada masyarakat Indonesia terutama didaerah pedesaan diberikan bantuan kredit. Maka timbullah gagasan-gagasan dari orang-orang Belanda baik di negeri Belanda maupun di Indonesia untuk mendirikan lembaga perkreditan untuk membantu penduduk Indonesia khususnya yang bermukim di pedesaan. Usaha ini dimaksudkan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut daripada kesejahteraan para petani serta meningkatkan daya tahan mereka terhadap bencana-bencana yang dapat terjadi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. Pijnaker Hordijk menunjuk W.P. Groeneveldt anggota Dewan Hindia Belanda untuk mengadakan penelitian mengenai keadaan ekonomi orang-orang Timur Asing di Jawa dan Madura. Hal ini berkaitan dengan peran mereka sebagai pemberi kredit kepada orang-orang Indonesia. Tekanan dari penelitian itu adalah penguasaan yang dilakukan orang-orang Timur Asing terhadap orang-orang Indonesia melalui praktek-praktek woeker, yaitu pinjaman uang dengan suku bunga yang sangat tinggi dan dengan persyaratan yang sangat berat.

                Ketika Groeneverdt diangkat sebagai wakil ketua Dewan, maka F. Fokkens ditunjuk oleh Pemerintah untuk mengadakan penelitian tersebut. Dalam kesimpulan dari penelitian tersebut Fokkens menyarankan agar untuk membantu memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia akan kredit perlu didirikan Bank Hipotik yang juga bekerja sebagai kas tabungan. Bank ini hendaknya diprakarsai oleh pihak swasta, akan tetapi diawasi oleh Pemerintah. Bank tersebut yang merupakan juga bank pertanian perlu dicoba dahulu dibeberapa tempat. Apabila percobaan ini berhasil, maka dapat dikembangkan kedaerah-daerah lain. Kendala yang terdapat dalam cara pemberian kredit ini adalah karena tanah-tanah orang Indonesia tidak diregistrasi dan tidak dapat diikat dengan hipotik. Cara pemberian kredit tersebut tidak dapat dilaksanakan karena kemudian ditemukan cara lain untuk pelaksanaan kredit pertanian. Yaitu pada bulan Desember 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah didirikan Bank Priyayi atau Bank Pegawai oleh seorang pegawai pemerintah bangsa Indonesia yang memberikan pinjamannya kepada para pegawai negeri bangsa Indonesia dan juga kepada para tukang (pengrajin) dan petani.



21.3. Pendirian Bank Perkreditan Rakyat Pertama (Bank Pegawai)

                Bank Perkreditan Rakyat yang pertama lahir pada akhir abad yang lalu ditengahtengah kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesia di daerah Banyumas, Jawa Tengah oleh seorang pegawai pemerintahan bangsa Indonesia R. Bei Aria Wirjaatmadja. Sebelum tahun 1875 R. Bei Aria Wirjaatmadja yang menjabat sebagai patih di Purwokerto telah mengetahui bahwa banyak Pegawai Negeri terjerat hutang pada rentenir didaerah itu.
Maka ia berusaha membantu membebaskan hutang mereka kepada rentenir, yaitu mula-mula dengan uangnya sendiri dan kemudian dengan persetujuan atasannya mempergunakan uang kas mesjid yang dipercayakan kepadanya untuk pengurusannya. Kecuali membantu para pegawai negeri ia membantu pula para petani dan tukang atau pengrajin dengan modal pertama sebesar Rp 4000,- Kesulitan kemudian terjadi karena ada perintah bahwa uang kas mesjid tidak boleh dipergunakan untuk keperluan lain daripada maksud semula.
                Patih R. Bei Aria Wirjaatmadja diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipergunakannya tersebut. Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan karena uang itu sudah dipinjamkan. Asisten Residen E. Sieburgh yang mengetahui kejujuran patih dan tujuan dari -
penggunaan uang itu memberikan bantuannya dengan membuat surat edaran kepada penduduk Purwokerto, baik yang berkebangsaan Eropa, maupun orang-orang Indonesiauntuk membantu pengembalian uang kas mesjid. Karena masyarakat di Purwokerto telah mengenal dan menghargai usaha yang telah dilaksanakannya, maka mereka turun tangan mengumpulkan dana untuk menolong patih yang jujur dari kesulitannya. Dalam waktu yang tidak lama terkumpul uang sebesar Rp 4000,- untuk meneruskan “perusahaan bank” dari R. Bei Aria Wirjaatmadja.
               
Dengan bantuan asisten residen E. Sieburgh uang yang terkumpul dari masyarakat Purwokerto tersebut dijadikan modal pertama dari Bank Perkreditan Rakyat yang pertama yang didirikan pada tanggal 16 Desember 1895. Bank tersebut dinamakan “Hulp en Spaar Bank voor Inlandsche Hoofden” (Bank Bantuan dan Tabungan untuk Kepala-kepala Bangsa Indonesia) atau “Hulp en Spaar bank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” (Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai Pemerintahan bangsa Indonesia) yang pada waktu itu dikenal sebagai Bank Priyayi dan merupakan bank Pegawai. Kecuali kepada para pegawai negeri bank juga memberi pinjaman kepada para petani dan tukang, mengenai pengertian tukang ini mungkin meliputi antara lain tukang batu, tukang besi serta pengrajin pada umumnya, untuk melepaskan diri dari jeratan rentenir atau pengijon.

2.1.3 Peran BPR dalam mengembangkan usaha mikro

Semenjak terjadinya krisis ekonomi hingga beberapa tahun terakhir ini hampir semua Bank gencar menggarap sektor Usaha Menengah Mikro dan Kecil (UMKM). Karena telah diakui bersama bahwa sektor inilah yang paling tahan terhadap badai krisis ekonomi yang memporakporandakan perekonomian nasional dengan menelan “korban” berbagai kalangan baik sektor perbankan, perdagangan, jasa, tidak terkecuali para Birokrat selaku pemegang kebijakan. Beberapa Bank dilikuidasi, perdagangan mandek, industri menghentikan produksi, PHK dimana-mana, banyak L/C Indonesia tidak dipercaya di luar negeri, dan beberapa pejabat bertumbangan. Tapi justru sektor UMKM dapat bertahan, bahakan mengalami perkembangan yang signifikan.

                Hal ini disebabkan antara lain karena UMKM bergerak di hampir semua sektor ekonomi. Pertanian, perdagangan eceran, industri rumah tangga, jasa-jasa, arisan RT, simpan pinjam kelompok dan sebagainya, semua berjalan biasa. Populasinya juga bersifat masal dan tersebar sehingga dapat menjadi penyedia barang dan jasa yang terjangkau bagi konsumen bawah karena jaringan distribusinya luas. Kegiatan UMKM umumnya hanya menggunakan teknologi sederhana, sehingga mudah menyesuaikan iklim dan lingkungan diamana usahanya berada.
 Dari sisi pembiayaan, modal UMKM biasanya relatif kecil sehingga penyaluran kredit UMKM dapat lebih merata, yang sekaligus menjadi strategi dari penyebaran resiko kredit. Bagi Pengusaha Mikro, kredit Bank (baca ; BPR) merupakan madu yang berarti manfaat dan memberi nilai tambah bagi pengembangan usahanya. Dengan meminjam BPR usaha nasabah semakin meningkat, omset bertambah, dan keuntungan melimpah. Itu artinya kredit yang diberikan Bank dapat menjadi madu bagi nasabah.

                Tapi sebaliknya, kredit bisa menjadi racun karena setelah pinjam BPR usahanya menjadi tersendat, angsuran meningkat, bahkan bisa jadi usahanya sekarat. Racun yang menimpa nasabah dapat berimbas meracuni Bank, karena dengan tersendatnya usaha biasanya akan berakibat pada terhambatnya angsuran. Meskipun pada beberapa kasus ada nasabah yang usahanya bangkrut, tapi angsurannya tetap lancar yang bisa digambarkan sebagai racunnya nasabah tapi madunya Bank, karena mungkin nasabah memeiliki itikad dan karakter yang baik. Tetapi hal ini tentu tidak diinginkan oleh nasabah maupun Bank.
                 Bagi BPR sendiri, kredit bagaikan madu di tangan kanan atau racun ditangan kiri. Karena kredit menjadi tumpuan pendapatan opersional dari bunga yang dibayar oleh nasabah. Rata-rata 80 % Pendapatan BPR adalah bersumber dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan. Jika angsuran nasabah lancar dalam membayar bunga dan pokok sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka kredit tersebut bisa dibilang menjadi madu bagi Bank. Tetapi jika angsuran nasabah bermasalah atau bahkan macet, maka kredit tersebut menjadi racun karena Bank harus menyediakan PPAPWD yang cukup untuk menutup kerugian Bank akibat kredit macet.
                Selain itu akibat kredit bermasalah juga berdampak pada tertundanya pendapatan bunga, sedangkan biaya terus bertambah. Lebih berbahaya lagi jika kredit bermasalah sudah seperti  racun yang menjalar ke seluruh organ tubuh sehingga berdampak pada timbulnya kematian / kebangkrutan.

                Oleh karena itu bagaimana kredit bisa menjadi madu bagi nasabah yang sekaligus madu bagi Bank, para analis kredit tentu sudah paham betul dengan analisa pendekatan yang digunakan. Tetapi bagaimana madu dapat mengalir secara terus menerus (sustainable) yang dapat menghidupi Nasabah sekaligus menghidupi Bank, ini yang perlu dipikirkan. Mengembangkan UMKM untuk menjadi nasabah yang menghasilkan madu secara terus menerus bukanlah program kagetan, atau program serentak yang seketika itu juga dapat dipetik hasilnya. Untuk membangun loyalitas UMKM yang sekarang menjadi primadona dan sasaran perbankan perlu kesabaran dan komitmen yang kuat. Betatapun canggihnya produk Bank Umum dan betapapun murahnya bunga Bank Umum, UMKM yang sudah loyal menjadi nasabah BPR tidak mudah tergoyahkan oleh tawaran-tawaran menggiurkan itu, karena pendekatan system analisis yang digunakan BPR menggunakan pendekatan sosial budaya (socio cultural approach) yang dinilai lebih tepat bagi UMKM. Bank Umum memang punya keunggulan teknologi, sumber dana yang melimpah, networking secara nasional, lalu lintas pembayaran melalui cek dan bilyet giro, dan sebagainya.

                Tetapi BPR juga punya keunggulan hubungan personal yang kuat dengan nasabahnya. BPR mampu memberi pelayanan yang prima karena pelayanan yang dilakukan BPR adalah face to face. BPR juga mampu menyesuaikan kondisi, adat istiadat, budaya dan perikehidupan masyarakat sekitarnya. BPR dapat memberi lebih dari yang diharapkan nasabah, karena umumnya UMKM tidak sekedar membutuhkan modal tetapi juga bimbingan, petunjuk, konsultan, teman diskusi yang tidak semuanya dapat dilayani oleh Bank Umum. Dan BPR umumnya bersedia berbagi pengalaman dalam suasana keakraban dengan memberi sentuhan hangat kawan sejati. Hal ini berbeda dengan pelayanan Bank Umum pada UMKM yang dinilai terlalu kaku dan prosedural.

2.2 Kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK  

                Walaupun terlihat adanya peran yang sudah dimainkan oleh BPR di dalam pembiayaan UMK seperti yang telah dijelaskan di atas, akan tetapi beberapa kendala masih dijumpai. Jika diperhatikan kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan sumbernya, yaitu: Bersumber dari internal BPR dan Eksternal BPR. Secara internal kendala yang dihadapi oleh BPR, pertama adalah tingkat bunga kredit yang dianggap terlalu tinggi. Tingginya tingkat bunga ini disebabkanoleh kombinasi cost of fund, risk premiun dan biaya operasional BPR yang tinggi.

                Kedua informasi keberadaan BPR yang belum optimal dan belum banyak diketahui oleh UMK disekitar wilayah operasi BPR. Akibatnya, nasabah potensial tidak bisa dilayani dengan baik. Hal ini berkaitan dengan metode promosi yang dilakukan olehBPR belum sesuai dengan karakteristik nasabah potensial.Ketiga, faktor kecukupan modal masih menjadi kendala dalam rangka pembiayaan UMK. Peningkatan jumlah modal BPR akan berpengaruh kepada kemampuannya dalam menyalurkan kredit dalam jumlah yang lebih besar.
                Hal yang lebih penting adalah adanya peraturan Bank Indonesia tentang persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi oleh BPR. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini diantaranya adalah merger dengan BPR lain, penjualan saham baru dan melakukan pinjaman kepada pihak lain. Keempat, faktor kualitas sumber daya manusia yang masih rendah khususnya di daerah-daerah yang masih berkembang dimana sebagian besar kualifikasinya adalah tamatan SLTA sehingga membatasi kemampuan BPR didalam melakukan operasional seperti menganalisis dan mengawasi kredit serta dalam memberikan pelayanan dan pengembangan produk baru. Secara eksternal peran BPR dalam pembiayaan BPR menghadapi beberapa kendala berikut ini: Pertama, kondisi perekonomian yang dianggap dapat mengurangi kemampuan BPR dalam meningkatkan penyaluran kredit kepada UMK. Kedua, munculnya pandangan bahwa BPR menghadapi persaingan dari berbagai dimensi diantaranya produk yang ditawarkan, tingkat bunga, mutu pelayanan. Persaingan ini tidak hanya dari BPR yang lain tetapi juga dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank.

 2.3 kondisi Persaingan BPR dengan lembaga keuangan lainnya.

                 Dalam hal produk, Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan pasal tiga belas membatasi usaha yang dilakukan oleh BPR hanya pada empat jenis, yaitu: menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; memberikan kredit; menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; danmenempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Sedangkan jasa seperti giro, transfer, dan fee basedincome lainnya tidak diperbolehkan. Halini tentu menimbulkan hambatan kepada BPR untuk mengembangkan pelayanannya.

                Sementara itu BPR harus bersaing dengan beberapa bank umum yang juga melayani kredit mikro seperti BRI Unit Desa dan Danamon Simpan Pinjam dengan variasi produk yang lebih beragam. Hal ini tentunya akan semakin memperberat persaingan yang dihadapi oleh BPR. Persaingan antara BPR dengan bank umum lainnya belum menunjukkan ancaman yang serius. Powers dan Hahn (2004), mengatakan bank yang tidak peduli dengan persaingan dan tidak merespon strategi kompetitor adalah bank yang stuck-in-the-middle.

                Dengan kata lain, jika BPR tidak merespon strategi kompetitor maka tidak akan ada peningkatan BPR di dalam manajemen usaha dan selanjutnya juga tidak meningkatkanya peran dalam pembiayaan UMK. Artinya, BPR harus memiliki strategi yang jelas didalam menghadapi persaingan dengan lembaga perbankan lainnya. Porter (1985), menyatakan bahwa kinerja yang superior di dalam kondisi persaingan bisa didapat melalui penerapan strategi overall costleadership, differentiation, atau focus. Merujuk pada analisis terhadap nasabah BPR, maka strategi cost leadership tidak cocok dilakukan oleh BPR karena cost offund dan risk premium belum bisa diturunkan.
                Sebagai alternatif untuk bersaing dengan lembaga keuangan lainya maka strategi focus differentiation akan lebih tepat dengan karakteristik nasabah BPR. Strategi fokus kepada pelayanan yang sesuai dengan karakteristik UMK dan menciptakan diferensiasi dalam bentuk pelayanan dan produk yang unik.

                Implikasi bagi BPR adalah perlunya identifikasi kembali core competency yang dimilikinya dan menyusun rencana strategis pengembangan usaha secara komprehensif. Salah satu keunikan karakteristik UMK dalam berhubungan dengan BPR adalah motivasi mengambil kredit yang lebih mengutamakan kecepatan dan kemudahan dari pada tingkat bunga (not pricesensitive).

                Hal ini disebabkan sebagian besar nasabah adalah pelaku usaha mikro dan kecil yang sering mengalami kesulitan modal kerja dan butuh dana cepat. Berdasarkan informasi dari focusedgroup discussion, pengalaman UMK yang pernah berhubungan dengan rentenir menunjukkan kecepatan ketersediaan dana adalah faktor penentu pengambilan keputusan. Secara rata-rata pencairan 29 kredit oleh BPR lebih cepat (2-3 hari) dibandingkan bank umum walaupun bunga lebih tinggi dari bank umum (HasilFocused Group Discussion). Artinya dengan tingkat bunga yang berlaku saatini dapat dimbangi dengan kecepatan,kemudahan dan kenyamanan pelayananBPR yang lebih baik dan ini merupakankunci untuk dapat menjangkau lebihbanyak UMK. Hal ini sejalan denganKaynak dan Harcar (2005) yang mengatakan bahwa di dalam bisnisperbankan yang berorientasi konsumen,kemampuan untuk menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhansegmen pelanggan dan ketersediaansumberdaya dan kompetensi yang sesuaidengan pasar sasaran merupakan aspekyang sangat penting.

2.4 Prospek BPR ke depan dalam rangka pembiayaan UMK

                Adanya lembaga keuangan lokal (local financial institutions) merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung percepatan pengembangan UMK di daerah. Lembaga keuangan lokal yang telah banyak berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah selama ini adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Prospek BPR dalam Pembiayaan UMKLembaga Keuangan Mikro memilikiketerkaitan yang erat denganperkembangan usaha mikro. Berkaitan dengan halitu, prospek BPR pada masa yang akandatang berhubungan erat dengan tingkatperkembangan dan pertumbuhan UMKdimasa datang. UMK dimasa datangdipercaya akan mempunyaiperkembangan yang semakin meningkat.
                Hal ini sudah terbukti dengan daya tahanyang ditunjukkannya pada masa krisis ekonomi. UMK juga mempunyai peluanguntuk berkembang karena didukung olehkebijakan pemerintah baik nasionalmaupun daerah melalui berbagai kebijakan, program dan aktivitas.

Sejalan dengan tekad pemerintah untukmengentaskan kemiskinan, maka salahsatu alternatif adalah melaluipengembangan UMK. Adanya pendidikan kewirausahaan pada berbagailevel pendidikan dan perilaku sosial yangmempunyai bakat berusaha yang tinggi,maka diharapkan perkembangan UMKakan lebih pesat.
                Hal ini tentunya akanberakibat kepada peningkatan kebutuhanmodal usaha akan menjadi potensi bagiBPR untuk meningkatkan aktivitaspembiayaannya. Saat ini jangkuan pelayanan BPR masihterbatas pada sekelompok nasabah atausekitar 18 persen dari seluruh UMK diSumatera Barat. Hal ini merupakanpeluang bagi UMK untuk meningkatkanpelayanan melalui perluasan jangkauankepada nasabah potensial.Berdasarkan analisis tentang peran BPRdalam pembiayaan UMK di SumateraBarat, terlihat bahwa BPR telah berperanmenjalankan fungsi intermediari-nya.Namun demikian kedepan BPR memilikiprospek yang cukup baik untukpembiayaan UMK, tetapi dengan terlebih dahulu mengatasi kendala dan hambatanbaik yang bersumber dari dalam maupun dari luar BPR, seperti tingginya tingkatbunga, kurangnya sosialisasi, terbatasnya modal dan kualitas SDM yang masih rendah.



















BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan

                Sesuai Undang Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998, BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Usaha BPR meliputi, menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; memberikan kredit; menyediakan pembinaan dan penempatan dana sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan pada bank lain. BPR adalah salah satu bentuk lembaga keuangan mikro di Indonesia yang telah memiliki akar dalam sosial ekonomi masyarakat pedesaan Indonesia. Kendala yang dihadapi BPR dalam pembiayaan UMK dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan sumbernya, yaitu: Bersumber dari internal BPR dan Eksternal BPR. Secara internal kendala yang dihadapi oleh BPR yaitu tingkat bunga kredit yang dianggap terlalu tinggi,informasi keberadaan BPR yang belum optimal dan belum banyak diketahui oleh UMK disekitar wilayah operasi BPR, faktor kecukupan modal, dan faktor kualitas sumber daya manusia yang masih rendah khususnya di daerah-daerah yang belum berkembang.
                Secara eksternal peran BPR dalam pembiayaan BPR menghadapi beberapa kendala berikut ini: Pertama, kondisi perekonomian yang dianggap dapat mengurangi kemampuan BPR dalam meningkatkan penyaluran kredit kepada UMK. Kedua, munculnya pandangan bahwa BPR menghadapi persaingan dari berbagai dimensi diantaranya produk yang ditawarkan, tingkat bunga, mutu pelayanan. Persaingan ini tidak hanya dari BPR yang lain tetapi juga dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank.
                 Dalam menjalani persaingannya, BPR harus memiliki strategi yang jelas didalam menghadapi persaingan dengan lembaga perbankan lainnya, dengan tingkat bunga yang berlaku saat ini dapat dimbangi dengan kecepatan, kemudahan dan kenyamanan pelayanan BPR yang lebih baik dan ini merupakan kunci untuk dapat menjangkau lebih banyak UMK.Kedepannya BPR memiliki prospek yang cukup baik untuk pembiayaan UMK, tetapi dengan terlebih dahulu mengatasi kendala dan hambatan baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar BPR, seperti tingginya tingkat bunga, kurangnya sosialisasi, terbatasnya modal dan kualitas SDM yang masih rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar